Belenggu Berkarat Pada Gerakan Perempuan

NARASI, BERITABORNEO.ID – Jauh sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya, kelompok perempuan telah membuktikan keterlibatannnya dalam perjuangan kemerdekaan. Banyak tokoh-tokoh pergerakan dari kalangan perempuan, diantara nama yang selalu diagungkan bahkan dijuluki pahlawan emansipasi Wanita, sebut saja R. A. Kartini dan juga Maria Walanda Maramis.
Pada masanya pula, mereka memperjuangkan bahwa perempuan haruslah mendapatkan hak yang sama khususnya dalam pendidikan. sehingga, perempuan di era sekarang dapat merasakan apa yang telah diperjuangkan yaitu menempuh pendidikan sampai ke jenjang tertinggi.
Saat ini pun perempuan masih dalam perlawanannya, bila kita amati secara saksama bagaimana besarnya perjuangan dan pengaruh seorang ibu dalam kelompok sosial terkecil yaitu keluarga. Benar jika seorang ayah adalah Nahkoda dalam perahunya. Namun, sosok Ibu yang berperan dalam menentukan arah atau petunjuk. Tak luput pula dari pantauan kita, begitu hebatnya Ibu yang ketika menjalankan kewajiban dalam rumah tangga, ia mampu menggendong anak di punggungnya seraya menyapu di tangan kirinya dan menggenggam ponsel di tangan kanannya dalam satu waktu. Belum lagi sosok ibu yang turut bekerja. Hal ini membuktikan bahwa realitas perempuan yang akan menerima warisan turun menurun yaitu beban ganda, sebuah tanggung jawab yang hanya dialami oleh para kaum perempuan.
Hal tersebut hanya sebatas menggambarkan Perjuangannya pada tatanan sosial terendah saja. Lantas seperti apa pula perjuangan perempuan dalam tegaknya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?. Sedangkan nyata bahwa pergerakan perempuan dari dulu hingga sekarang selalu dibayang-bayangi oleh para hamba Patriarki dan fanatisme dalam konteks agama yang memaksa sistem khilafah. Kita tahu bahwa sistem khilafah cenderung menutup ruang pada perempuan. Sehingga peran perempuan secara tidak langsung tereduksi. Sementara itu, peran perempuan harus mendapatkan ruang yang luas guna memberikan sumbangsih dalam pelbagai sektor sosial, baik Pendidikan bahkan hingga politik.
Pada masa orde baru yang mengomandoi patriarki dan rezim otoriter. para Laki-laki benar-benar mengusai Negara dan melemahkan kehadiran perempuan dalam pengaturan, dengan mengecilkan ruang bagi perempuan untuk memimpin karena dinilai tak secakap kaum laki-laki. Sehingga pada masa kini perempuan masih terselimuti oleh stigma-stigma yang membatasi pergerakannya.
Pasca era Reformasi 1998 atau dua dekade yang telah berlalu. Pergerakan perempuan telah memberikan hasil yang signifikan dalam kemajuan bangsa. Sebagai contoh, perempuan dapat mengambil peran menjadi bidik penilaian konservatisme. Hal ini membuktikan betapa pentingnya peranan perempuan yang ikut membentengi. Seharusnya hal tersebut dapat dijangkau oleh kacamata manusia saat ini, terkhusus pula untuk seluruh perempuan. Perempuan harus bangkit dan melawan dengan pengetahuan dan kapasitas yang sama, bahkan perempuan bisa di atas rata-rata. Artinya, tidak ada lagi ketakutan yang harus dirawat ketika hendak melangkah, sekalipun bias gender sering kali masih membuntuti.
Perempuan kini haruslah menunjukan taringnya. Penyadaran akan pentingnya peran dan kesetaraan haruslah terjawab di bangsa kita, sebab hal tersebut sering dianggap remeh dan banyak yang tak paham. Sehingga ruang lingkup pergerakan masih didominasi oleh kaum laki-laki. Memang tidak mudah bagi seorang perempuan apalagi bayangan stigma masih melekat erat pada kelompok yang tak menerima keberadaan pergerakan perempuan.
Maka dari itu, menjadi perempuan pergerakan membutuhkan rasa percaya diri,  dengan terus memupuk dan mengembangkan pemikirannya. Sebagai sesama kaum perempuan haruslah bergenggaman tangan karena begitu banyak tantangan yang dihadapi, sebab kaum perempuan tidak hanya menghadapi minimnya partisipasi, akan tetapi juga isu yang disematkan ke semua perempuan atas kesalahan individu, penghinaan pula ketika pujian bagi perempuan bukan karena kualitasnya melainkan elok penampilannya. Namun, bukankah terlihat indah menjadi wibawa yang akan tertanam?. Belum lagi harus melawan rasa empati yang sering dimanfaatkan, bahkan pelecehan seksual dianggap lumrah karena dianggap faktor kesalahan dari perempuan itu sendiri. Problem ini pula yang menyebabkan enggannya perempuan untuk berteriak keras dalam menyuarakan kebenaran. Belum putus pula mata rantai patriarki, dengan pemikiran kolotnya mengomentari jika perempuan tidak pantas bergerak, bahkan dianggap lebay ketika menuangkan ide yang cemerlang dan dinilai pembangkang yang buruk ketika menentukan sikap dan mengambil sebuah pilihan.
Saat ini, banyak sekali perempuan yang secara tidak langsung mengkader diri dalam berbagai organisasi kemahasiswaan. Hampir seluruh organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan memberikan ruang khusus bagi Gerakan keperempuanan. Bahkan kuantitas kaum perempuan hampir sebanding jumlahnya dengan kaum laki-laki. Akan tetapi dampak terhadap perubahan sosial belum terasa secara signifikan.
Sebagai perempuan yang terkader dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan yang besar di Indonesia seperti, HMI dengan platform Kohati-nya. PMII dengan Kopri-nya, GMNI dengan Sarinah-nya, GMKI hingga PMII yang turut serta memberikan ruang-ruang Gerakan dalam organisasi-organisasi besar tersebut. Maka perlu kiranya memunculkan bersama pertanyaan mengenai orang-orang yang berada dalam ruang pergerakan. Namun belum paham terhadap peranan perempuan dan kesetaraan. Jika benar ada kader yang belum tersadarkan, maka menjadi keharusan untuk memulai kajian yang bukan hanya untuk perempuan saja mengenai hal tersebut, melainkan laki-laki pula perlu terlibat karena sebagai subjek yang memperbincangan stigma di kepala mereka tentang perempuan.
Sebagai kader perempuan dalam dunia pergerakan. Mesti disadari peran dan fungsi yang diemban oleh kaum perempuan dalam dunia pergerakan, namun sayang masih ada sesama kader perempuan yang memandang rendah pergerakan perempuan. Sehingga perasaan sesama perempuanpun hilang. Bukannya saling menggenggam tapi menyingkirkan tangan lainnya, tak terelak pula kemunculan kelompok dalam kelompok yang saat ini menjadi permasalahan hilangnya kader satu persatu.
Perlu diingat Kembali jika peranan kader perempuan sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa. Pembahasan ini harus terus dikembangkan sebagai tolak ukur arah pergerakan. Bukan sedikit pula kader yang berpengetahuan tapi menutup telinga dan mulutnya terhadap keresahan dan lingkungannya sendiri. Harapan akan hal ini tidak hanya digantungkan kepada kader-kader perempuan saja. Akan tetapi kepada semua yang terbuka pola pikirnya tentang betapa pentingnya peranan perempuan. Sehingga kemudian ruang-ruang Gerakan bagi perempuan tetap tersedia tanpa terjebak paparan virus stigma masyarakat tentang patriarki yang secara tidak sadar mengkerdilkan potensi kaum perempuan.
Indah Allawiyah. K
(Penulis adalah mahasiswi IAIN Pontianak).