BeritaBorneo.id – Kartika tidak pernah menyangka, kepulangannya ke kampung halaman disambut dengan keadaan Desa yang sudah tidak karuan. Dalam empat tahun kepergiannya, Desa yang subur dan makmur itu berubah menjadi Desa miskin nan gersang. Pohon – pohon rindang di kawasan desa digantikan dengan sawit – sawit perusahaan swasta, jalan – jalan aspal yang rusak dan hanya ditambal dengan batu serta pasir.
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Kartika menyadari bahwa Desa nya tidak seramai dahulu. Kedatangan Kartika dirumah disambut dengan peluk haru Ibu dan Ayahnya, mereka berbincang cukup lama tentang pendidikannya di kota. Kartika yang sudah menyandang status Sarjana Ilmu Politik disarankan orang tuanya untuk tidak memilih tinggal dan mengabdi dikampung halamannya.
Kartika yang bertambah bingung dengan pernyataan orang tuanya pun mulai menanyakan banyak hal yang mengganjal hatinya. “ kenapa Ayah dan Ibu melarang ku untuk membangun Desa ku sendiri ? dan kenapa Desa kita bisa sampai seperti ini ? para pemuda Desa juga terlihat tidak seramai dulu ? Kemana kekayaan desa dan keramaian orang – orangnya?
Kenapa semuanya bisa berubah dalam waktu sekejab ?” Kartika merasa frustasi dengan beragam pertanyaan dan spekulasi yang muncul di kepala nya, ayah Kartika yang dulunya adalah mantan kepala Desa selama dua periode, bisa mengerti perasaan Kartika, sejak kecil Kartika sudah terbiasa dengan aktivitas pemerintah Desa dan sering dibawa oleh sang ayah dalam melaksanakan berbagai kegiatan penduduk Desa. Wajar saja jika hatinya hancur melihat keadaan Desa yang babak belur begini.
Menghela napas, Ayahnya berusaha menjelaskan situasi Desa kepada Kartika “ nak, ingat apa yang pernah Ayah katakan tentang orang – orang yang ingin mengeruk kekayaan alam Desa kita ?” Kartika tertegun lalu , ayahnya melanjutkan kalimatnya “ bahwa apapun rayuan mereka pada akhirnya hanya akan menyengsarakan kita semua, mereka bisa memberikan kekayaan yang instan, yang singkat, lalu memberikan kerugian yang berkepanjangan “.
Seketika Kartika mulai mengerti. “ Ayah apakah perusahaan swasta yang dahulu Ayah tolak berhasil melakukan kerja sama dengan pemerintah Desa ? “ Ayah Kartika mengganguk dan menjawab“. Setelah pergantian kepala Desa, semua perangkat Desa juga ikut diganti. Masyarakat yang banyak dibantu secara finansial oleh kepala desa yang baru merasa senang atas pengangkatan beliau.
Orang – orang yang sudah membantu mengkampanyekan beliau juga diangkat sebagai staff pemerintahan Desa. Para perusahaan Swasta pun kembali mencoba membujuk kepala Desa yang baru untuk mau memberikan izin serta menjual kawasan hutan Desa dan membujuk penduduk Desa untuk menjual lahan pertanian mereka kepada Perusahaan, “ ayah apa yang diiming – imingi perusahaan kepada kepala Desa yang baru? Lantas kenapa penduduk mau menjual lahan mereka padahal itu adalah sumber pencaharian mereka, lagipun bukannya komoditi pertanian kita sudah cukup membuat masyarakat kita berkecukupan ? “ Kartika menyela penjelasan ayahnya karena kesal dengan keputusan kepala Desanya.
Ayah Kartika tersenyum lalu kembali menjelaskan “ Kartika, warga desa memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kepala Desanya, apa yang dikatakan kepala Desa adalah sebuah kebenaran yang dipercayai oleh warga Desa, pada waktu itu semua orang dikumpulkan di Balai Desa dan dijanjikan akan disediakan lowongan pekerjaan untuk warga Desa di perusahaan swasta tersebut, apabila mau menjual lahannya dan setiap lahan dihargai dua juta rupiah per-hektar.
Kepala Desa yang baru juga menyakinkan warga Desa bahwa dengan kesepakatan ini warga Desa yang menganggur bisa memiliki pekerjaan di perusahaan, lahan pertanian yang jauh dari Desa lebih baik dijual ketimbang tidak digarap oleh warga Desa.
Perusahaan paham betul bahwa penduduk Desa yang masih tradisional akan mudah dirayu dengan keuntungan materi dibandingkan memikirkan dampak berkepanjangan. Tidak perduli apa yang terjadi dengan pembangunan dan keberlangsungan Desa, yang paling penting untuk dipikirkan bagi mereka adalah bagaimana caranya masih bisa makan untuk esok hari.
Alhasil nota kesepakatan antara perusahaan dan penduduk Desa berhasil ditanda tangani. Sayangnya warga Desa tertipu, lahan yang dijual tersebut ditanami sawit oleh perusahaan dan warga Desa yang bekerja di perusahaan hanya sebagai buruh dan pekerja lepas dengan gajih yang dihitung per hari bekerja.
Kawasan Hutan Desa juga dibabat dan ditanami Sawit, masyarakat dengan ekonomi kian melemah tidak memiliki kuasa untuk melawan, kepala Desa dan perangkat Desa lainnya juga tidak memiliki lahan pertanian untuk dikelola dan hanya bergantung dari pekerjaan mereka sebagai perangkat Desa.
Dengan kehidupan mereka yang terbiasa berkecukupan mereka lalu mencari tambahan lain untuk memperkaya dirinya dengan menyalahgunakan Anggaran Pendapatan Belanja Desa ( APBD ) , sebanyak 960 juta APBD pertahun tidak diketahui kejelasan dan bukti fisiknya “ Ayah Kartika menyelesaikan ucapannya sambil menyeruput kopi hitam yang sudah hampir dingin.
Kartika terdiam mencerna penjelasan Ayahnya. Lalu mulai berbicara “ Ayah, artinya ketidak berdayaan masyarakat secara ekonomi membuat mereka tidak mampu melawan praktik korupsi yang dilakukan perangkat Desa, bahkan ketika warga Desa merasakan sendiri akibat dari perbuatan mereka tetap tidak ada yang berani mlawan, terlebih lagi orang – orang didalam perangkat Desa sudah saling bekrja sama menutupi hal ini dari pemerintah daerah dan kementrian Desa.
Lantas, kemiskinan ini jangan – jangan juga ada hubungannya dengan semakin sedikitnya pemuda dan anak – anak di Desa kita, Ayah ?”. Ayah Kartika tersenyum mendengar Hipotesis yang disampaikan anaknya. “tepat sekali nak, pemuda Desa memilih untuk merantau dengan harapan bisa memperbaiki ekonomi keluarganya. Anak – anak juga banyak yang putus sekolah dan membantu orang tuanya dikarenakan biaya sekolah yang tidak mampu dibayar oleh para orang Tua, anak – anak perempuan yang tamat sekolah segera dinikahkan dengan orang luar untuk mengurangi biaya dalam keluarga dan mengikut pindah ke kampung suaminya.
Para penduduk memilih menghindar dan pasrah ketimbang harus melawan dan berurusan dengan jajaran perangkat Desa nak, makanya ayah dan ibu tidak sampai hati bila membiarkanmu mengabdi di Desa yang penuh masalah seperti ini” Ayah Kartika menatap lurus kedepan, mengalihkan pandangan dari anaknya yang diam terpaku mendengar kenyataan pahit yang ditanggung Penduduk Desa nya. Kartika mengikuti arah pandangan ayahnya, menghela napas dan mulai memikirkan banyak rencana dikepalanya.
Ayah berkali – kali tersenyum di sela – sela pembicaraannya, entah mengapa menyakitkan melihat ayah tersenyum saat membicarakan keadaan desa kami, seperti sebuah keikhlasan yang dipaksakan oleh keadaan. Maaf ayah, aku tidak bisa meninggalkan Desaku dalam kondisi seperti ini. Tindakan korupsi itu tidak bisa dimaafkan apalagi dibiarkan meraja lela. Aku akan membawa perubahan untuk Desa ku ayah. Aku berjanji ! “ janji Kartika dalam Hatinya.
Penulis: : Cindy Ervina