BeritaBorneo.id – Posisi berpengetahuan dengan berkekayaan merujuk pada tujuan setiap manusia. Namun, saya merasa terjadi sebuah disorientasi tujuan yang irasional. Jalan untuk menuju Berpengetahuan dan Berkekayaan itu berbeda, untuk berpengetahuan maka kita harus berpendidikan dan terus belajar, sering diskusi, selalu mengikuti pelatihan dan lain-lain, ini adalah jalan untuk berpengetahuan.
Berbeda dengan jalan untuk berkekayaan, jalan untuk berkekayaan adalah berwirausaha, mampu membaca peluang dan menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, apa yang terjadi sekarang,? Sekarang terjadi sebuah disorientasi tujuan terutama dalam pendidikan. Pendidikan dijadikan untuk menggapai kekayaan sebagai ukuran kesuksesan.
Sukses dalam berpengetahuan tentu berbeda dengan sukses oleh kekayaan, namun keduanya sangatlah dibutuhkan. Saya beri contoh; ada seorang mahasiswa, beliau tergolong mahasiswa yang kurang mampu dan suatu ketika ia ada tagihan bayaran SPP sehingga ia harus memutar otak untuk mendapatkan uang yang cukup guna membayar tagihan SPP tersebut, karena jika ia tidak membayarnya ia tidak bisa mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) otomatis ia akan tertinggal smester.
Lalu, mahasiswa tersebut kemudian memberitahu orang tuanya dan orang tuanyapun kebingungan karena tidak punya uang sama sekali. Orang tuanya hanya memiliki beberapa lahan perkebunan dan sepetak sawah. Demi agar anaknya tetap lanjut kuliah, maka orang tua tersebut harus menjual tanah atau kebunnya.
Berdasarkan contoh tersebut, ada sebuah orientasi yang hendak dicapai yaitu Mahaisiswa tersebut lulus sampai selesai kuliah dan berpengetahuan (intelektual). Kita menjual tanah, kebun, kerbau, sapi, mobil bahkan mungkin rumah dan kekayaan lain yang kita miliki demi sebuah pendidikan dan menjadi berpengetahuan.
Nah, jika kita mengukur kesuksesan itu hanya dengan materi, maka ini tidak rasional. Artinya kekayaan yang ada saja dijual, lalu apakah ketika kita lulus kita bisa menggantinya lagi kekayaan-kekayaan yang dijual tadi,? Sukses yang generasi sekarang maknai selalu diukur dengan materi bukan tercapainya pengetahuan kita dan lulusnya kita sebagai mahasiswa yang memiliki kualitas tinggi.
Sepertinya paradigma masyarakat kita memang pragmatis, jadi ketika kita belum punya rumah, mobil, perusahaan dan lain-lain maka kita belum sukses. Memang tidaklah salah, yang salah hanyalah orientasinya. Ketika kita kuliah empat tahun maka kita harus lulus empat tahun dan seberapa berubahnya kita sebelum menjadi mahasiswa dan sesudah lulus menjadi mahasiswa jika kita lulus dan kita merasa ada perbedaan dari sebelumnya maka kita sukses.
Kesuksesan bagi mahasiwa bukanlah diukur dengan materi, tetapi dengan berpengetahuan. Melalui ilmu yang dimilikinya ia diharapkan mampu bermanfaat di lingkungan masyarakat. Ilmunya menjadi penerang dalam setiap langkahnya, memandang segala sesuatu semakin bijaksana dan ketika berkekayaanpun menjadi dermawan.
Jadi, apabila selesai kuliah ia tidak kaya, maka ini tidaklah salah karena jalan yang mahasiswa tempuh bukankah jalan untuk sukses dalam artian memiliki materi tetapi sukses bagi mahasiswa adalah memiliki wawasan luas atau berpengetahuan. Bagaimana dengan mahasiswa yang lulus menganggur,? Ini juga tidaklah salah, mungkin saja dia pemalas. Dan malas bukanlah pengetahuan tetapi malas adalah tidak memiliki kecerdasan emosional. Maka, dengan ini harus kita tambahkan, bahwa yang dinamakan dengan intelektual itu, kita tidak cukup berpengetahuan. Tetapi, kita harus memiliki keseimbangan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.
Dalam banyak kasus, orang kaya dan orang berpengetahuan (pintar) merujuk pada manusia yang berbeda. Menurut Andrias Harefa dalam bukunya Mindset Therapy “sebagian orang yang dikagumi karena kekayaannya tidak menunjukan pengetahuan yang mengagumkan. Sedangkan orang yang kita kagumi karena pengetahuannya yang luar biasa tidak memiliki kekayaan yang berlimpah”.
Tetapi, demikian ilmu adalah jangka panjang sedangkan harta sewaktu-waktu bisa hilang kapan saja. Ilmu itu abadi adanya, sedangkan harta itu sementara. Namun, ilmu dan harta keduanya dicari karena menjadi kebutuhan manusia. Perbedaan yang bisa menentukan pilihan kita adalah bahwa ilmu harus dicari sebanyak-banyaknya sedangkan harta dilarang mengumpulkannya karena semakin banyak harta cenderung banyak ribanya.
Banyak harta dengan dibekali ilmu akan mengerti dan memanfaatkan hartanya untuk menolong orang lain. Disinilah keutamaan ilmu. Adapun mengenai mencari ilmu sebagaimana dalam hadist tolabulilmi faridotun alakuli muslimin walmuslimati, artinya mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.
Budaya pragmatisme menggerogoti piikiran kita, orientasi pendidikan kita semakin mementingkan formalitas ijazah dan materi daripada esensi pendidikannya. Orientasi ijazah membuat mental kita menjadi mental pekerja bukan pencipta pekerjaan. Kita terbawa arus sedangkan tidak bisa menyeimbangkan arus. Belum lagi kita dihadapkan dengan segala persoalan pendidikan sebagai akibat dari perubahan teknologi dan informasi.
Kita digiring untuk mengikutinya dan harus mampu menciptakan inovasi baru dalam mengembangkan metode pendidikan. Diluar sudah sedemikian luar biasa bebasnya sedangkan pendidikan belum menemukan solusi atasnya, proyek-proyek edukasi tidak identik dengan praktik-praktik pendidikan.
Beberapa permasalahan ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Neil Postman dalam bukunya yang berjudul The End of Education . Neil Postman mengkritik pada kenyataan pola pengajaran terhadap siswa yang tidak tuntas, karena diluar sekoLah teknologi sudah sedemikian maju, maka sekolah sudah harus menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung belajar, guru mengajarkan pengetahuan-pengetahuan baru tentang ilmu dan teknologi.
Sayangnya, soal-soal kemungkinan implikasi dari kekuasaan teknologi sangat jarang diajarkan dan di diskusikan. Mungkin inilah yang dinamakan oleh Hudaya Latuconsina dalam bukunya Pendidikan Kreatif. Ia mengatakan, tidak sedikit guru hanya menjadi birokrat kurikulum yang main doktrin sehingga tidak memotivasi dan mencerahkan anak.
Realitas teknologis dan alat informasi adalah hamparan luas dihadapan para siswa sekarang. Jadi tidak aneh jika akhir-akhir ini di televisi kita mendengar ada siswa yang mengatakan bahwa Google lebih pintar daripada gurunya. Memang benar !, Jawaban tas problem-problem teknis kehidupan sudah muncul dimana-mana, seperti sarana transportasi serba cepat berhasil mengatasi jarak, dialog lintas benua sangat mudah lewat piranti komunikasi terkini dan pengetahuan lintas wacana tersedia di dunia maya.
Jika jawaban sudah tersedia, apa yang harus dipertanyakan,? Tentu saja bukan pragmatisme kebutuhan karena untuk apa bertanya jika semua sudah tersedia. Yang perlu kita lakukan dan masukan dalam pendidikan kita adalah kritisme historis agar tindakan menjadi proporsional dan tidak saling merugikan. Oleh karena itu pendidikan harus dilakukan tidak sekedar mengajarkan apa yang ada tetapi justru mempertanyakan kenapa semua itu ada.
Sumber:
Harefa Andrias, 2010. Mindset Therapy, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Penulis: Suardi (Aktivis PMII)