BeritaBorneo.id – Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa China sekarang ini menjadi salah satu negara yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Indonesia merupakan contoh penting negara yang masyarakatnya adalah kelompok etnis Tionghoa (China).
Secara historis, etnis Thionghoa telah diakui sebagai salah satu warga negara Indonesia sejak zaman kolonial Belanda. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling Wet van)), 2 September 1854, Ned. S. 18 yaitu (1). Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing seperti Tionghoa, India dan Arab; dan (3) Golongan Pribumi. Pembagian golongan itu bertujuan untuk menerapkan politk devide et impera atau politik pecah belah oleh Belanda.
Pada masa kolonial Belanda, ternyata kedudukan etnis Thionghoa di Indonesia memiliki posisi yang berbeda dibandingkan dengan masyarakat pribumi. Di bawah penjajahan Belanda, etnis Thionghoa di perkotaan merupakan kelas menengah dan melaksanakan fungsi ekonomi yang penting, meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa banyak orang Thionghoa miskin di Indonesia pada masa kolonial. Namun, secara umum masyarakat Thionghoa di era Kolonial Belanda menduduki posisi ekonomi sebagai kelas pedagang (perantara) yang penting dan kehidupan sosial-ekonominya lebih baik dibandingkan penduduk pribumi pada waktu itu.
Etnis Thionghoa bukan hanya memberikan pengaruh di Indonesia, tetapi termasuk di negara-negara di Asia Tenggara bahkan dunia. Sebagaimana dikatakan oleh Wang Gungwu, bahwa etnis Thionghoa di negara Asia Tenggara sangat loyal, berpendidikan dan sangat bermanfaat bagi negara. Mereka siap mengabdi pada negara dimana mereka bedomisili. Sekarang tinggal bagaimana cara negara memanfaatkan kelebihan mereka.
Namun, di Indonesia masalah etnis terutama kaitannya dengan identitas kultural etnis Thionghoa yang berhadapan dengan masyarakat mayoritas pribumi seringkali terjadi gesekan, konflik dan kekerasan rasial antara kaum non-pribumi keturunan Thionghoa dan asli pribumi Indonesia.
Sebagai contoh terjadinya deskriminasi terhadap etnis Thionghoa, kita bisa lihat dalam sejarah bangsa kita, dimana pernah dilaksanakan kebijakan pembauran agar kelompok minoritas Thionghoa hilang, lebur dan menjadi satu dengan masyarakat mayoritas. Kelompok minortitas Tionghoa selama 32 tahun mengalami aneka kebijakan pembauran; ganti nama, larangan memakai bahasa Thionghoa, larangan perayaan Thionghoa dan larangan terhadap agama yang di anut oleh orang Thionghoa. Peristiwa Mei 1998 membuktikan bahwa kebijakan orde baru gagal. Orang Tionghoa menjadi sasaran pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, dan banyak etnis Tionghoa yang melarikan diri.
Menurut Leo (Suryadinata, 1998) sekitar 110.000 warga negara Indonesia keturunan Thionghoa meninggalkan negeri ini. Mereka juga membawa modalnya yang diperkirakan berjumlah 30 – 100 miliar dolar. Namun demikian, seiring berjalannya waktu sekarang Thionghoa tumbuh menjadi negara dan masyarakat yang mampu menguasai perekonomian dunia.
Jika kita analisis etnis Thionghoa (China) di Indonesia; pertama, adalah minoritas dan kedua etnis yang di deskriminasi. Timbul sebuah pertanyaan mengapa Thionghoa tumbuh menjadi negara atau masyarakat yang maju dalam hal ekonomi dan mampu menjadi etnis minortias yang mendominasi pasar?
Etnis Thionghoa dan Dominasi Pasar
Kelompok minortias Tionghoa atau China adalah kelompok yang diberi istilah market-dominant minorities yaitu kelompok minoritas yang kaya-kaya berkat sistem ekonomi pasar. Bahkan sekarang ini, sistem pasar sudah menjadi dogma yang tidak boleh dilanggar. Angka statistik ekonomi etnis Thionghoa di Indonesia adalah tiga persen, ini menunjukan Etnis Thionghoa menguasai 70 persen ekonomi Indonesia. Lepas dari kebenaran angka statistik tersebut, sesungguhnya ada kesan bahwa kelompok etnis Thionghoa di Indonesia lebih kaya dan lebih makmur dibandingkan dengan kelompok etnis lain di Indonesia.
Di negara lainpun ternyata sama, bahwa etnis Thionghoa memainkan peranan sentral dalam ekonomi, ini berlaku di Philipina, Vietnam, Tahiland, Kamboja dan Laos. Kunio Yushihara menyebutkan, pengusaha China perantauan (the overseas Chinese) itu merupakan penggerak perekonomian yang tidak bisa di abaikan oleh siapapun elite yang berkuasa, karena mereka memiliki jaringan bisnis regional dan internasional yang berkembang semenjak lama, bahkan sejak era kolonial. Kenyataan ini sering berimplikasi politik maupun sosial-ekonomi dan membuat minortias Tionghoa sering mengalami dilema dalam hubungannya dengan kaum Bumiputera.
Menurut Victor Simpao Limlingan, Doktor lulusan Harvard University, kesuksesan ekonomi etnis Tionghoa di Asia Tenggara disebabkan oleh beberapa faktor yaitu; Pertama, sebagai golongan minoritas dan penduduk kota; Kedua, profesi mereka sebagai pedagang sebelum mereka bermukim di Asia Tenggara; dan Ketiga, adanya tunjangan kapital besar dari luar negeri. Pernyataan ini ditolak oleh Leo Suryadinata, menurutnya ketiga faktor tersebut tidak bisa dibenarkan karena mereka awalnya bukan berasal dari kelas pedagang, melainkan dari kelas buruh dan petani. Kemudian kapital yang besar juga tidak bisa dibenarkan, karena mereka hanya bermodalkan dengkul. Berbeda dengan apa yang dikatakan Peter Berger, menurutnya Tionghoa perantauan (overseas Chinese) lebih banyak menerapkan Konghucuisme rakyat, yang bersikap postitif terhadap kerja, pragmatis, disiplin dan kerja keras.
Namun, pernyataan itu juga diragukan oleh Leo, menurutnya, sistem politik dan ekonomi negara-negara di Asia Tenggara juga dapat menjadi hal yang penting bagi terbentuknya modal Tionghoa. Perantauan yang kini dominan di kawasan Asia Tenggara ini. Menurut Leo, kenyataan ini bisa dilihat dari keberhasilan para Taipan Tionghoa di Indonesia, Malaysia, Singapura, Philipina dan Tahiland yang memiliki kekayaan miliaran dollar AS dan menjadi para kapitalis Asia yang disegani oleh Barat/Amerika.
Menurut penulis, pembangunan ekonomi Tionghoa di Indonesia sudah dilakukan sejak kolonial Belanda, hal ini dapat dilihat ketika masa Kolonial Belanda sudah dibukanya sitem ekonomi liberal. Para kolonial Belanda menguasai perusahaan-perusahaan, perbankan, perkebunan, perkapalan dan pertambangan monopoli dan perdagangan internasional serta investasi berskala besar. Sementara itu, para pedagang Tionghoa diposisikan sebagai perantara (intermediaries) bagi pasar domestik.
Struktur ekonomi seperti ini mengucilkan para borjuis pribumi Muslim, tanpa proteksi dari negara, terbatas pada perdagangan skala kecil dan produksi komonditi pedesaan dan kota kecil yang tidak mampu bersaing dengan produksi orang-orang Tionghoa. Struktur Kapitalisme pasca Indonesia merdeka mulai terlihat pada masa orde baru yang membuka kekuatan ekonomi asing secara luas. Di era orde baru, terdapat 10 Konglomerat (Taipan) etnis Tionghoa sebagai pengusaha terkaya di dunia. Mereka itu adalah Liem Sioe (Salim Group) dengan kekayaan US$4,6 miliar, Eka Tjipta Widjaja US$3,8 miliar, keluarga Wonowidjojo US$3,0 miliar, Prajogo Pangestu US$1,7 miliar, Sjamsul Nursalim US$1,3 miliar, Sukanto Tanoto US$1,1 miliar, Mochtar Riady US$1,1 miliar dan R. Budi Hartono US$1,0 miliar.
Etnis Thionghoa mengalami banyak diskriminasi dari pihak mayoritas, bahkan mereka diusir. Hingga saat ini kita sering meendengar sentimen masyarakat yang dapat dikatakan sangat anti dan benci terhadap etnis Thionghoa. Kita tidak tahu, dan barangkli tidak pernah bertanya kenapa. Justru dari Negara Cina kita bisa belajar bagaimana membangun relasi bisnis dalam memajukan kesejahteraan sosial negara kita. Ungkapan Rosulullah SAW mengenai “carilah ilmu sampai ke negeri Cina” saya rasa adalah saran yang penuh hikmah agar kita belajar ilmu dagang dari Cina.
Penulis: Suardi