Masalah Populasi, Ketersediaan Pangan Dan Kerusakan Lingkungan Di Indonesia

Suardi: Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Beritaborneo.id – Pada Juli 2020 kemarin, seluruh dunia memeringati World Population Day atau Hari Kependudukan Sedunia. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai kondisi dan dampak kependudukan.Hari Kependudukan Dunia ditetapkan oleh PBB sebagai bentuk perhatian besar masyarakat pada peringatan “Hari Lima Miliar” penduduk dunia yang terjadi pada 1987 silam. Sejak saat itu, populasi dunia terus bertambah dan berdampak pada meningkatnya permasalahan kependudukan.

Berdasarkan data Administrasi Kependudukan (Adminduk) per Juni 2021, jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 272.229.372 jiwa, dimana 137.521.557 jiwa adalah laki-laki dan 134.707.815 jiwa adalah perempuan. Kepadatan populasi merupakan gambaran untuk mengetahui jumlah individu persatuan luas wilayah tertentu.

Menurut Encyclopaedian Britannica (2015), kepadatan populasi di mana manusia seluruh penduduk yang menempati suatu daerah dan terus menerus dimodifikasi oleh peningkatan. Peningkatan bisa pada kelahiran dan imigrasi. Populasi manusia dipengaruhi oleh kebiasaan sosial yang mengatur reproduksi dan oleh perkembangan teknologi, terutama dalam bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, Hasto Wardoyo mengamini, permasalahan kependudukan kian hari ke hari sudah sedemikian kompleks semua masalah itu harus dicarikan solusinya.

Ada dua masalah utama yang dihadapi dunia akibat dari semakin meningkatnya populasi, yaitu penawaran makanan dan kerusakan pada sumber daya alam. Dalam proses produksi makanan dunia, interaksi tanah, tanaman dan lingkungan adalah masalah yang paling dasar. Sejalan dengan ini Thomas Malthus mengatakan bahwa pertumbuhan populasi manusia cenderung mengalahkan pertumbuhan produksi makanan.

Ketahanan pangan menjadi kunci majunya ekonomi suatu negara. Untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut perlu upaya yang serius agar lahan komoditas pangan selalu terjaga dan produktif. Pengamat pangan Wibisono mengatakan saat ini ketahanan pangan Indonesia belum berada dalam kondisi menguntungkan. Wibisono juga menyebutkan penyebab kegagalan pemerintah dalam mencapai kedaulatan pangan karena tidak optimalnya lahan pertanian. Salah satu penyebabnya karena faktor kerusakan tanah yang luas akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan.

Teori Malthus

Banyak masalah yang timbul akibat semakin meningkatnya populasi dunia khususnya di Indonesia salah satunya adalah perihal ketersediaan makanan. Hal ini seperti masalah populasi  yang terjadi di Afrika Timur yang  disebut sebagai “Malthusan”, sebab pada 1798 ahli ekonomi dan demograi inggris Thomas Malthus mengatakan bahwa pertumbuhan populasi manusia cenderung mengalahkan pertumbuhan produksi makanan. Hal itu karena (Malthus menalar) pertumbuhan populasi berlangsung menurut deret ukur (eksponensial), sementara produksi makanan meningkat menurut deret hitung (aritmetis) (Jared Diamond, 2017:421).

Misalnya, bila waktu penggandaan populasi adalah 35 tahun, maka populasi yang terdiri atas 100 orang tahun 2000, bila terus bertumbuh dengan waktu penggandaan yang sama, akan berlipat dua pada tahun 2035 menjadi 200 orang, yang nantinya akan berlipat dua menjadi 400 pada 2070, yang akan berlipat dua menjadi 800 orang di tahun 2105, dan seterusnya.

Namun peningkatan produksi makanan bertambah, bukan berlipat sebagai contoh terobosan ini meningkatkan panen gandum sebesar 25%, terobosan itu meningkatkan panen sebesar 20%, dan seterusnya. Dengan kata lain, ada perbedaan dasar antara bagaimana populasi bertumbuh dan bagaimana produksi makanan bertumbuh. Sewaktu populasi bertumbuh, orang-orang baru yang ditambahkan ke populasi juga bereproduksi seperti bunga majemuk, di mana bunga itu sendiri menghasilkan bunga juga. Ini memungkinkan pertumbuhan eksponensial. Sementara itu peningkatan panen makanan tidak meningkatkan panen lebih jauh, melainkan menyebabkan pertumbuhan deret hitung semata dalam produksi makanan.

Oleh karena itu populasi akan cenderung berkembang dan mengonsumsi semua makanan yang tersedia tanpa menyisakan surplus, kecuali pertumbuhan populasi itu sendiri dihentikan oleh kela paran, peperangan, atau penyakit, atau oleh pilihan-pilihan pencegahan yang diambil penduduk (misalnya kontrasepsi atau menunda pernikahan). Gagasan ini, yang masih tersebar luas hingga kini, bahwa kita bisa mendorong kebahagiaan manusia hanya dengan meningkatkan produksi makanan, tanpa secara bersamaan mengekang pertumbuhan populasi, ditakdirkan berujung pada kegagalan atau demikianlah kata Malthus.

Ketersediaan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan.

Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.

Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.

Nilai strategis beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling penting. Industri perberasan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi (dalam hal penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan, sebagai wage good), lingkungan (menjaga tata guna air dan kebersihan udara) dan sosial politik (sebagai perekat bangsa, mewujudkan ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin.

Sebagai negara agraris, Indonesia merupakan negara penghasil beras yang besar. Berdasarkan hasil Survei Badan Pusat Statistik pada tahun 2020, luas panen padi diperkirakan sebesar 10,66 juta hektar atau mengalami penurunan sebanyak 20,61 ribu hektar (0,19 persen) dibandingkan tahun 2019. Sementara itu, produksi padi pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 54,65 juta ton GKG. Jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras pada tahun 2020 mencapai sekitar 31,33 juta ton, atau meningkat sebesar 21,46 ribu ton (0,07 persen) dibandingkan dengan produksi beras tahun 2019.

Namun meskipun demikian malah justru Amerika yang paling banyak memasok beras di dunia. Artina ini ada yang salah dengan kondisi pangan di Indonesia. Menurut Gunawan, Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Indonesia belum bisa mengekspor beras karena kualitas pangan tidak bisa diterima di sejumlah negara. Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan lingkungan di Indonesia yang belum bisa ditangani dengan baik sehingga hasil pertanian juga tidak maksimal.

Mengutip Tech-Cooperation Aspac FAO menyebutkan bahwa 69 persen tanah pertanian di Indonesia dikategorikan sudah rusak parah (tandus) lantaran penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan. Dengan kondisi itu diramalkan ketahanan pangan (food security) Indonesia hingga 2050 akan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Persoalan kerusakan lahan tersebut jarang menjadi sorot perhatian. Ketika kegagalan pangan terjadi maka yang kerap disalahkan adalah faktor di luar seperti masalah banjir, kekeringan, dan serangan hama, selalu dijadikan kambing hitam masalah gagal pangan.

Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi ancaman serius di Indonesia sebagai contoh di Jawa Tengah yaitu berkaitan dengan rencana pembangunan 24 kawasan Industri di Jawa Tengah yang membutuhkan lahan minimal 1.200 ha yang berasal dari lahan pertanian dan kawasan hutan. Pada tahun 2019 kemarin Indonesia mengalami bencana kebakaran hutan yang cukup besar.

Dari hasil analisis Greenpeace, 3.403.000 hektar (ha) lahan terbakar antara tahun 2015 sampai dengan 2018 di Indonesia, menurut hasil analisis burn scar (bekas terbakar) dari data resmi pemerintah. Analisis Greenpeace Internasional mengungkapkan beberapa perusahaan ternama dunia berada di balik kebakaran hutan dan telah memicu perubahan iklim karena masih membeli komoditas minyak sawit dari pemasok yang berhubungan langsung dengan kebakaran hutan. Namun, pemerintah belum mengambil langkah tegas pada oknum-oknum yang bertanggung jawab pada kebakaran hutan yang terjadi.

Kerusakan tanah pertanian menyebabkan turunnya produktivitas (ton/ha/panen) dan produksi pertanian (ton/wilayah). Apabila hal ini dibiarkan berlanjut, maka produksi pertanian nasional akan menurun, dan senjang antara kebutuhan dengan ketersediaan hasil pertanian akan makin besar. Banyak hal yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan untuk mengatasi makin meluasnya kerusakan tanah, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi kerusakan, faktor penyebab dan pelaku/manusianya. Oleh karena itu untuk mengantisipasi hal itu pemerintah juga harus menjaga keseimbangan ekosistem. Kalau Pemerintah tidak hati-hati, ini akan berimplikasi pada maraknya pencemaran lingkungan, turunnya kualitas udara, krisis air bersih dan beberapa dampak buruk lainnya.

Untuk mengatasi makin meluasnya kerusakan tanah, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi kerusakan, faktor penyebab dan pelaku/manusianya. Dengan adanya data/informasi tersebut akan diketahui alternatif upaya pencegahan pengrusakan tanah, rehabilitasi lahan yang terdegradasi, dan siapa sasaran hukum atau pelaku pengrusakan. Proses pengrusakan tanah-tanah pertanain di Indonesia sudah berlangsung lama, menghasilkan tanah dan lahan yang terdegradasi.

Di satu sisi tanah-tanah terdegradasi perlu direhabilitasi agar produktif kembali, dan di sisi lain tanah yang masih produktif perlu dihindarkan dari tindakan dan proses pengrusakan. Hal yang kedua, yaitu mencegah kerusakan lebih baik dan lebih murah dari yang disebut pertama, namun tidak mudah dan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, antara lain berupa: peningkatan kepedulian masyarakat tentang pentingnya melestarikan lahan pertanian, program pemerintah yang bersifat nasional dan lokal, penindakan hukum kepada pelaku pengrusakan.

Sumber Referensi:

Jared Diamond, 2017. Collapse: Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

https://mediaindonesia.com/humaniora/327330/hari-populasi-dunia-ini-6-masalah-kependudukan-di-indonesia (dikutip pada Rabu, 3 November 2021).

https://dukcapil.kemendagri.go.id/ (dikutip pada Rabu, 3 November 2021).

https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/04/160000369/kepadatan-populasi-dampak-dan-pengaruhnya (dikutip pada Rabu, 3 November 2021).

https://www.gatra.com/detail/news/444808/ekonomi/pengamat-rusaknya-lahan-pertanian-ancam-ketahanan-pangan (dikutip pada Rabu, 3 November 2021).

https://mediaindonesia.com/humaniora/327330/hari-populasi-dunia-ini-6-masalah-kependudukan-di-indonesia (dikutip pada Rabu, 3 November 2021).

https://radioedukasi.kemdikbud.go.id/ (dikutip pada Rabu, 3 November 2021).

https://www.bps.go.id/ (dikutip pada Rabu, 3 November 2021).

https://radioedukasi.kemdikbud.go.id/read/ (dikutip pada Rabu, 3 November 2021).

https://jatengdaily.com/2020/kerusakan-lingkungan-akibat-alih-fungsi-lahan-ancaman-serius-jateng/ (dikutip pada Rabu, 3 November 2021).