Narasi  

Merawat Toleransi Menjaga NKRI

BeritaBorneo.id – Nilai toleransi dan saling menghargai satu sama lain telah menjadi nilai moral yang sudah tertanam di Indonesia. Ikhwal Indonesia adalah negara dengan beragam adat, budaya, dan juga agama.

Kita tahu bahwa dari Sabang sampai Marauke beragam suku, adat budaya yang hidup berdampingan. Ditambah lagi dengan adanya kepercayaan agama (Parmalim) yang diimani masyarakat dan diakui oleh pemerintah Indonesia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.

Dilansir dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mempunyai 633 kelompok suku besar atau 1.340 suku bangsa.

Melihat banyaknya suku bangsa yang ada di Indonesia, tentu nilai saling menghormati dan toleransi sudah pasti menjadi suatu nilai yang harus diamalkan dalam hidup bernegara.

Perbedaan-perbedaan inilah yang membuat Indonesia kaya akan budayanya dan melahirkan sebuah karakter bangsa Indonesia.

Pada dasarnya masyarakat Indonesia itu masyarakat yang sangat toleran. Namun seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat menyebabkan mengikisnya rasa toleransi tersebut karena ketidaksiapan masyarakat indonesia untuk menerimanya. Beberapa masalah yang hadir yakni:

1. Masyarakat gampang terprovokasi karena berita yang belum valid kebenarannya, apalagi informasi tersebut berkaitan dengan Suku, Ras dan Agama (SARA). Ini merupakan hal yang riskan untuk terjadinya konflik antar kelompok masyarakat.

2. Masyarakat terlalu dalam ikut larut perihal kompetisi politik berkelanjutan, apalagi politisi yang didukung terafiliasi populisme. Hal ini menyebabkan debat panjang di media sosial yang berujung pada konflik.

3. Berkurangnya kerjasama mekanik antar kelompok masyarakat. Hal ini disinyalir karna masyarakat terlalu sibuk dalam dunia digitalisasi.

4. Masyarakat dengan gampangnya membagikan informasi yang tidak utuh. Contohnya seperti membagikan screenshoot judul berita media online tanpa dibarengi dengan link berita yang valid dan sebenarnya isi berita tersebut bertolak belakang dengan cover judulnya.

Dalam hal lain mengikisnya nilai-nilai toleransi di tengah masyarakat dalam konteks bergama ialah:

1. Eksklusifitas dalam memahami agama yang diimaninya. Padahal eksklusifitas ini sebuah tangga awalan untuk menuju ekstrimisme beragama.

2. Semangat beragama yang tidak didasari ilmu dan akhlaq yang baik akan menjadi aktualisasi peribatan beragama menjadi pincang.

3. Kejadian intoleransi beragama yang sering disebabkan memandang agama itu secara objektivitas (kebendaan). Padahal yang lebih tepatnya itu harus secara subyektivitas (keyakinan masing-masing). Jika cara pandangnya demikian tentu tidak akan ada kejadian yang mengintervensi kepercayaan orang lain.

4. Dampak dari berkembangnya sebuah pemahaman politik kanan jauh yang mulai menginfeksi pemuda terutama dalam lingkungan kampus.

Padahal jika kita kembali ke sejarah sistem perpolitikan Indonesia. Negara kita ini pernah dibawa ke sistem kiri jauh dan sistem kanan jauh, namun kedua sistem ini tidak relevan untuk negara yang dalamnya mempunyai masyarakat yang multikultural. Bahwanya sistem yang cocok untuk Bangsa ini ialah di tengah-tengah, yaitu Pancasila yang sudah mampu menaungi keberagaman yang ada di Indonesia.

 

Toleransi dan Perbedaan

Toleransi merupakan suatu sikap saling menghargai dan menghormati antar individu atau kelompok di dalam masyarakat meskipun berbeda latar belakang. Toleransi sering dikaitkan dengan sikap lapang dada. Menunjukkan kedewasaan dalam hidup bermasyarakat.

Jelas dapat dimengerti bahwa toleransi ini muncul karena munculnya perbedaan prinsip, dan penghormatan atas perbedaan prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.

Kehidupan toleransi sebagai wujud keharmonisasian yang sudah berhasil merawat perbedaan yang berada di daerah tertentu dan dapat dijadikan cerminan terhadap kehidupan sosial di daerah lain yang memiliki latar belakang masyarakat yang sama beragamnya.

Toleransi dan menghormati eksistensi agama lain tentu ada batasan-batasanya, tidak boleh dalam tindakan kesediaan mengikuti sebagian ajaran teologi ibadah agama lain.

Mencampuradukkan satu agama dengan agama lainnya adalah perilaku kompromis-sinkretis, bukan bagian dari bentuk toleransi yang diperbolehkan.

Munculnya kesadaran antar umat beragama yang diwujudkan dalam toleransi bisa menekan atau meminimalisasi konflik di masyarakat. Dengan inisiasi toleransi beragama bukan hanya terjadi dalam kelompok beragama yang sama, tetapi juga dengan kelompok beragama yang berbeda dapat menjadi perekat sosial yang kuat dalam toleransi beragama.

Toleransi beragama yang dikembangkan bukan hanya menghargai teologi masing-masing agama dan umat beragama, tetapi juga memahami dan menghargai budaya dari umat beragama.

Toleransi menjadi sikap dasar yang harus dimiliki setiap umat beragama, terlebih masyarakat yang hidup di negara Indonesia. Tantangannya bukan perihal perbedaan agama saja, namun juga perbedaan suku budaya yang hidup bersama didalamnya.

Perbedaan yang hadir di tengah-tengah masyarakat bukanlah suatu masalah, melainkan suatu keniscayaan yang Tuhan konsep untuk saling mengenal dan saling menghormati antar indentitas masing-masing.

Hidup berdampingan, harmonis dan mampu meminimalisir terjadinya konflik merupakan suatu modal sosial yang kuat yang hanya bisa dicapai melalui tindakan kolektivitas dalam masyarakat.

 

 

Niqi Zulkarnain, S.Sos

Mahasiswa Magister Ilmu Sosiologi UNTAN