Narasi  

NU dan Feminimisme Islam (Sebuah Kerangka Berfikir)

Ilustrasi Gambar Feminisme. Sumber: Nalarpolitik.com

Beritaborneo.id – Feminimisme Islam adalah feminimisme moderat sebagai sintesis dari feminimisme marxsis, liberal, radikal dan sosialis. Gagasan moderat itu adalah NU , maka berdasarkan gagasan inilah saya memberi judul artikel ini NU & Feminimisme Islam (Sebuah Kerangka Berfikir). Tulisan ini saya sajikan untuk kader PMII yang akan melaksanakan Sekolah Islam Gender (SIG) sebagai kerangka acuan untuk kader PMII khususnya dan umumnya untuk kita semua yang berminat pada kajian feminimisme islam. Saya ucapkan selamat membaca .!!

 

Nahdlatul Ulama (NU) yang berlatarkan tradisionalisme, menurut saya telah menjadi suatu organisasi keagamaan sekaligus organisasi sosial yang fenomenal di dalam kehidupan masyarakat, agama dan berbangsa serta berpikiran maju dan modern. Sebagaimana dikatakan oleh Ben Anderson dalam buku yang ditulis oleh Abraham Silo Willar, berjudul Nu Perempuan, bahwa NU merupakan kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Sebagai contoh dapat dilihat ketika NU bersedia menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas atau falsafah untuk semua organisasi sosial dan politik yang ada di Indonesia.

 

NU sebagai organisasi keagamaan telah berhasil melahirkan banyak tokoh, baik itu Kyai maupun cendekiawan muslim yang berfikiran maju dan modern. Misalnya saja KH. Wahid Hasyim, KH. Abdurahman Wahid, KH. Sayid Akil Siradj dan lain sebagainya. Maju yang di maksud disini adalah suatu pemikiran yang berhasil diterima oleh masyarakat luas tanpa harus mengabaikan prinsip-prinsip Islam. Selain itu, NU juga telah berhasil membuat kaderisasi atau penerus NU, khususnya kaum muda-mudi yang pemikiran dan sikapnya juga bisa diterima oleh kalangan agama lainnya misalnya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdlatul Ulama (FKGMNU), Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan lain sebagainya.

 

Mengenai wacana feminimisme mengingatkan saya pada persitiwa konferensi gerakan perempuan radikal Chicago pada tanggal 18 Mei 1968  Women’s Liberation Movement dalam buku berjudul Women Liberation karya Sara M. Evans, Deindre Hogans. Konferensi tersebut bertujuan untuk menciptakan dan memperkuat ikatan diantara kelompok dan individu, menghasilkan sebuah transenden akan sejarah dan tujuan secara umum dan memprovokasi ide dan rencana program imajinatif. Dengan kata lain konferensi itu adalah langkah awal dalam proses pembangunan gerakan perempuan di Amerika Serikat. Sedangkan mengenai Feminimisme Islam, kita dapat membaca buku yang ditulis Fatima Seedat, yang berjudul _Feminimisme Islam dan Islam Feminis.

 

Munculnya gerakan perempuan umumnya dilatarbelakangi ketidakadilan gender (diskriminasi). Ketidakadilan gender telah menahun dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Namun demikian, isu gender juga tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang membagikan peranan di dalamnya. Di komunitas masyarakat tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin dan penafsiran teks yang tidak ada terhadap perempuan merupakan wujud-wujud ketidakadilan gender. Hal tersebut merupakan warisan masyarakat patriarki (nilai atau sifat yang mengagung-agungkan maskulinitas ditengah masyarakat Islam). Kesadaran berbicara dan menyajikan feminimisme di kalangan muslim muncul dengan memuat kesadaran gender serta berupaya memperjuangkan penghapusan ketidakadilan gender yang menimpa perempuan.

 

Kecilnya ruang gerak kaum perempuan NU dalam kehidupan sehari-hari disebabkan karena terjadinya domestikasi peran kaum perempuan yang tampaknya masih berlaku di banyak tempat hingga saat ini. Konvensi-konvensi kaum perempuan tentang kehidupan kaum perempuan, misalnya tempat perempuan adalah diseputar rumah, dapur dan kasur (ranjang) serta status antara pria dan wanita tidak sepadan bobot dan kemuliaannya. Kondisi seperti ini telah menampakan kegelisahan kaum perempuan yang dalam catatan sejarah NU untuk mencoba membongkar serangkaian ayat-ayat Al-Quran maupun fiqih beserta tafsirannya.

 

Geliat kegelisahan perempuan NU salah satunya dapat dilihat pada berdirinya asosiasi yang peduli terhadap pemberdayaan perempuan. Contoh Puan Amal Hayati (Puan artinya pesantren untuk pemberdayaan; Amal Hayati artinya harapan kehidupan) yang berdiri pada tanggal 3 Juli 2000. Meskipun asosiasi ini bukan bentukan NU namun secara kultural memiliki basis kultural NU.

 

Lahirnya suatu pemahaman keagamaan yang baru yang menempatkan pria dan perempuan sejajar dan tidak deskriminatif terhadap kaum perempuan merupakan target Puan Amal Hayati ini. Dalam perkembangan selanjutnya, mengenai wacana perempuan menjadi pembahasan yang fenomenal. Hal ini dapat kita lihat ketika disampaikannya seminar yang digelar di Yogyakarta pada tanggal 15 Desember 2011 dengan tema Perempuan, Hak Asasi dan Dunia Islam, kerja sama Rausyan Fikr dengan Institute Atase Kebudayaan Republik Islam Iran di Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Moehamad Ali Rabbani (Atase Kebudayaan Republik Islam Iran di Indonesia), bahwa “Perempuan mempunyai potensi besar terhadap perkembangan suatu peradaban, namun sayangnya hal ini tidak mendapatkan kesadaran masyarakat Islam.

 

Dalam media massa, terlebih dalam perfilman perempuan telah menjadi sebuah komonditi untuk mendongkrak pasar sebuah film. Jati diri dan hak hakiki seorang perempuan perlahan terkikis dan dihilangkan dari benak kesadaran. Berdasarkan Data Statistik yang dikatakan oleh Dr. Fereshiteh  Ruh Afza, (Perempuan terpilih 2010 dari Presiden Iran) bawa terdapat 7000 Chanel parabola dan 5000 Chanel TV untuk menjual keberadaan perempuan dari sisi tubuhnya belaka, meninggalkan sisi jati diri dan subtansi yang surgawi; sebagai seorang manusia dan ibu yang akan mendidik anak-anak manusia yang mampu mengembangkan dirinya sendiri yang menjadi manusia paripurna. Banyak sekali ketidakharmonisan terjadi dalam sebuah keluarga dan masyarakat karena ketidakadaannya pemahaman terhadap pentingnya peran perempuan dan potensi besarnya dalam membangun sebuah peradaban.

 

Berdasarkan kenyataan tersebut perempuan sebagai pusat kecintaan sudah saatnya menghargai urusannya dirinya. Imam Khomaeni pernah mengatakan bahwa perempuan adalah pusat masyarakat. Oleh karena itu disinilah pentingnya bagi kita untuk memahami feminimisme Islam.

 

Masalah Feminimisme

 

Membahas feminimisme, sebetulnya tidak hanya satu, artinya banyak aliran sebagaimana halnya banyaknya aliran ilmu qalam dalam Islam. Jika dalam ilmu qalam kita mengenal beberapa aliran seperti Qodariyah, Jabariyah, Mutazilah, Murji’ah, Khawarij dan lain sebagainya. Maka pun halnya dalam feminimisme ini, banyak persi, sehingga melahirkan berbagai perspektif dan teori mengenai feminimisme. Namun sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai aliran dalam feminimisme maka kita perlu memahami kembali apa itu feminimisme.

 

Umumnya feminimisme mempunyai arti sebagai kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat baik itu ditempat kerja maupun dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan dan laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Feminimisme tidak pilah dari artian gender yaitu kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa para perempuan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

 

Perbedaan gender atau yang kita kenal dengan istilah gender diferences sebenarnya tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan ( Gender equality ). Tetapi realitas historis memperlihatkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, terlebih lagi bagi perempuan. Dari realitas historis semacam ini, perbedaan gender terbentuk, tersosialisasi, terkokohkan, terbakukan dan terkonstruksi secara sosial, kultural, melalui ajaran keagamaan, bahkan melalui negara, karena itu seringkali diyakini sebagai ketentuan Tuhan, bahwa yang bersifat biologis tidak dapat diubah lagi, kodrat laki-laki dan perempuan dipahami sebagai perbedaan gender. Hal inilah yang kemudian memunculkan berbagai teori dari yang psikologis, fungsional struktural, konflik, sosio-biologis, sampai ekologis.

 

Menurut Murtadha Muthahari dalam bukunya yang berjudul Filsafat Perempuan bahwa dalam feminimisme terdapat berbagai aliran yaitu pertama feminimisme liberal, kedua feminimisme marxsis, ketiga feminimisme radikal, keempat feminimisme sosialis, dan kelima Feminimisme ekologis.

 

Pertama, feminimisme liberal menyatakan bahwa manusia diciptakan dengan hak-hak sama dengan laki-laki dan mempunyai peluang serta kesempatan sama untuk mengembangkan dan memajukan diri. Hanya saja, hak peluang dan kesempatan tersebut belum diberikan kepada perempuan. Oleh karena itu ada tuntutan bahwa prinsip-prinsip tersebut harus dilaksanakan sekarang juga. Ekstrimnya, sistem patriarki dapat dihancurkan dengan cara mengubah sikap mengenai perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki. Perempuan harus menyadari dan menuntut hak-hak ini, sampai laki-laki tersadar sehingga terbentuk suatu masyarakat baru yang disitu perempuan dan laki-laki bekerjasama atas dasar kesetaraan.

 

Kedua, feminimisme marxsis menyatakan bahwa ketertinggalan yang di alami perempuan itu disebabkan oleh struktur sosial, politik dan ekonomi terkait dengan sistem kapitalisme dan kesempatan hak perempuan sama dengan laki-laki memustahilkan jika mereka hidup dalam masyarakat berkelas. Terkait dengan persoalan perempuan dan keluarga bawa keluarga adalah kesatuan produksi yang disitu keterlibatan perempuan dalam keluarga cukup besar, anggota lain sangat menentukan dalam mempertahankan hidup. Namun sesudah kapitalisme industri berkembang, tidak ada kesatuan produksi lagi karena telah terjadi peralihan kegiatan produksi berpindah dari rumah tangga ke pabrik-pabrik. Seterusnya pembagian kerja secara seksual laki-laki disekitar publik yang produktif dan bernilai ekonomi dan perempuan disekitar domestik yang tidak ada nilai produktif dan nilai ekonomi. Karena kepemilikan materi yang menentukan nilai eksistensi seseorang maka mengakibatkan perempuan dalam sektor domesti tidak produktif: perempuan lebih rendah daripada laki-laki.

 

Ketiga, feminimisme radikal berpandangan bahwa faktor utama penyebab pembagian kerja secara seksual dengan sistem patriarkial sehingga laki-laki mengendalikan perempuan dengan kekuasaanya. Sumber kelemahan perempuan bisa karena struktur biologis dan dapat diatasi dengan cara memanfaatkan kemajuan teknologi. Gerakan feminisme radikal kemudian dikenal sebagai gerakan perempuan yang memperjuangkan realita seksual bahkan mempunyai strategi menghancurkan patriarki sebagai suatu sistem nilai yang melembaga dalam masyarakat. Yang sangat ekstrim merupakan gerakan perempuan untuk memutuskan hubungan perempuan dari laki-laki yang kemudian dikenal dengan feminimisme lesbian. Gerakan lesbian ini secara politis ingin eksis sebagai perempuan dengan melawan laki-laki, akan menyadarkan kembali akan perlunya kerjasama saling memberi dan menerima yang didasarkan pada cinta kasih yang sesungguhnya.

 

Keempat, feminimisme Sosialis berpandangan bahwa perlu sintesis antara feminimisme marxsis dan feminimisme radikal. Gerakan ini mengkritik adanya hubungan partisipasi perempuan dalam produksi dan status perempuan. Feminimisme sosialis dikenal dengan asumsinya bahwa hidup dalam masyarakat kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan perempuan. Selain itu negara sosialis dan kapitalis, perempuan terjun dalam pasaran tenaga kerja dan beberapa perempuan secara ekonomis sudah mandiri meskipun dalam kenyataannya masih terkungkung dalam sistem patriarki.

 

Feminimisme Islam

 

Mengenai feminimisme Islam kita dapat menelusuri gagasan Murtadha Muthahari. Nama lengkapnya adalah Syahid Murtadha Muthahari lahir pada 2 Februari 1919 di Khurasan dari seorang ayah Hujatu Islam Muhamad Muthahhari. Beliau pernah mengajar dalam bidang logika, filsafat dan fiqih di Universitas Teheran dan pernah menjabat sebagai ketua Jurusan Filsafat Islam sangat mendalam. Pandangan dan sikapnya tentang feminimisme dipandang cukup menunjukan keutuhan serta kebulatan penguasaan pengetahuan dalam bidang feminimisme. Ia juga mengkritik feminimisme barat, dengan menyajikan feminimisme Islam sebagai ideologi yang dipandang sebagai solusi persoalan yang dihadapi oleh manusia modern.

 

Studi tentang feminimisme dipraktikan dalam studi yang bertujuan membatasi kawasan budaya, sosial, politik, dannkawasan Islam sebagai suatu metode yang memerlukan aspek histeriografi, dengan aspek ini diharapkan dapat diketahui adanya perbedaan antara kawasan budaya yang satu dari yang lainnya. Murtadha Muthahari membatasi agama dengan seni intuitif, suatu gagasan aksiomatis tentang apa itu Islam, apa itu feminimisme dan apa itu hak perempuan. Ia bertujuan merumuskan inti agama yang dikembangkan dari keyakinan yang bersumber dari teks al-Quran yang memiliki makna luar biasa bagi pengembangan konsep aspek-aspwk kehidupan budaya, sosial, ekonomi dan politik.

 

Perempuan dalam islam sesungguhnya memiliki kedudukan yang setara dan adil hanya saja kita masih belum tercerahkan karena minimnya sumber bacaan dan literasi. Ada beberapa gagasan mengenai feminimisme Islam salah satunya adalah kemerdekaan dalam menentukan masa depan. Islam sesungguhnya tidak seperti yang kita tahu pada umunya. Dulu anak perempuan dalam menentukan masa depannya harus menuruti orang tuanya, ternyata ini hanyalah tradisi, karena Islam tidak pernah menentukan atau memberi hak kepada orang tuanya untuk menentukan masa depan anaknya. Pernyataan ini dikutip dari seorang faqih besar bernama Syaid Tsani. Beliau adalah Zainudin Bin Ali Bin Ahmad Al-Amili yang termasyhur dengan sebutan Al-Syahid Al-Tsani.

 

Islam memberikan pengabdian sangat besar untuk perempuan. Bukan saja dengan mencabut kewenangan mutlak para ayah, Islam pun memberikan kemerdekaan penuh. Islam memberikan kemerdekaan penuh seperti kemerdekaan berfikir, dan berpendapat dan secara formal mengakui eksistensi hak-hak alamiah mereka. Namun meskipun demikian Islam tidak pernah meyakinkan perempuan untuk memberontak atau bersikap sinis terhadap laki-laki. Gerakan perempuan Islam merupakan gerakan putih, yang sedikitpun tidak berwarna merah, biru, ataupun ungu. Sikap hormat anak perempuan kepada ayahnya dan sika hormat isteri kepada suaminya tidak dihapus. Fondasi keluarga tidak dihancurkan. Islam tidak membuat perempuan memandang hina punya suami, memandang hina menjadi ibu dan memandang hina membesarkan anak.

 

Selain itu beberapa hal sering mendapatkan kecaman dari perempuan terutama beberapa hal yang berkaitan denga kekerasan terhadap perempuan dan seperti pertanyaan mengapa seorang anak perawan tidak boleh menikah dengan seorang laki-laki tanpa persetujuan ayahnya. Ini juga membutuhkan penjelasan yang mudah dimengerti dan tidak bisa kita menjawabnya karena sudah dari sananya dengan alasan bahwa agama menganjurkannya begitu. Saya diperlukan analisis psikologi bahwa seorang gadis bukan karena seorang gadis dianggap belum mencukupi dalam hal tertentu atau dipandang lebih rendah dibandingkan laki-laki berkenaan dengan kematangan sosial. Seandainya demikian, lantas apa bedanya antara janda dan perawan kalau seorang janda yang berusia enam belas tahun tidak membutuhkan persetujuan ayahnya.

 

Masalah ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan kurangnya perkembangan intelektual atau mental, melainkan berkaitan dengan aspek psikologi laki-laki dan perempuan. Kaitanya secara khusus dengan sisi predatori (ganas) watak laki-laki, disatu pihak dan kepercayaan perempuan kepada loyalitas dan ketulusan laki-laki. Menurut para psikolog perempuan lebih sabar dan tabah dalam mengendalikan nafsunya. Namun demikian, yang membuat tidak seimbangnya perempuan dan yang memperbudak perempuan adalah suara indah kasih sayang, ketulusan, kesetiaan dan cinta dari laki-laki. Disinilah perempuan menaruh kepercayaan. Seorang perempuan sepanjang ia masih perawan dan belum pernah berhubungan langsung dengan laki-laki, sangat  cepat percaya bisikan lembut laki-laki.

 

Berkenaan dengan ini sebagaimana dijelaskan oleh seorang psikolog Amerika, Profesor Reek, bahwa sebaik-baiknya kalimat yang dapat diucapkan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan adalah “sayangku, aku cinta kamu” dan dia juga mengatakan “itu merupakan kebahagiaan bagi seorang perempuan; maksudku untuk menaklukan hati seorang perempuan dan mempertahankannya untuk seluruh hidupnya”. Jadi dapat kita simpulan dalam perpektif psikologi berkenaan dengan feminimisme yang perlu diingat adalah bahwa ” laki-laki adalah hamba nafsunya, sedangkan perempuan adalah tawanan perasaan kasih sayangnya sendiri “.

 

Dalam perpektif islam Nabi Muahamd. SAW dengan jelas mengatakan “seorang perempuan tak akan pernah membiarkan raib dan hatinya kata-kata seorang laki-laki kepadanya; aku mencintaimu. Laki-laki yang ganas akan memanfaatkan sensibilitas (perasaan halus) perempuan. Perangkap sayangku, aku cinta kamu adalah perangkap untuk menjerat gadis-gadis yang belum berpengalaman soal laki-laki.

 

Bagi saya psikologi menjadi aspek bawaan yang dimiliki perempuan, namun dalam ruang lain seringkali dibenturkan oleh feminimisme dalam perpektif lain seperti dalam perpektif sosial, maka mungkin akan memeprdebatkan bagaiman posisi perempuan dalam stratifikasi sosial. Namun penjelasan ini agaknya menjadi penutup dalam pembahasan mengenai feminimisme Islam yang saya pandang dalam perspektif psikologi dan agama. Sebetulnya memandang feminismisme haruslah secara universal dari berbagai sudut pandang agar menemukan titik sintesis dari berbagai aliran feminimisme itu sendiri. Semoga tulisan kecil ini bisa menjadi referensi bacaan dan diskusi-diskusi selanjutnya. Saya ucapkan banyak teriamkasih dan mohon maaf atas seagala keterbatasannya.

 

Penulis: Suardi (Aktivis PMII)