Pemikiran Politik Barat: Kontribusi Pemikiran Islam

Pandangan yang berkembang hingga dewasa ini bahwa lahirnya pemikiran di Barat berupa filsafat, ilmu pengetahuan, kebudayaan hingga berkembangnya peradaban Barat pada dasarnya berasal dari proses dan “pergumulan” dari interaksi peradaban besar yang telah ada sebelumnya. Peradaban itu terdiri atas: Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam. Setelahnya runtuhnya tiga peradaban besar itu, memberikan pupuk penyubur untuk tumbuhnya suatu peradaban baru bagi bangsa-bangsa di Barat. Tentu bukan datang dengan begitu saja, sejarah telah membuktikan, bahwa bangsa-bangsa di Barat mengalami masa the dark ages (abad kegelapan) yang Panjang, dan kemudian mereka belajar dari kemajuan serta keunggulan peradaban sebelumnya. Sebagaimana yang dikemukakan Arnold Toynbee, bahwa peradaban Barat lahir dari kehancuran peradaban Yunani-Romawi. With disintegration, menurutnya, comes rebirth.

Pada abad XV, Konstantinopel jatuh ke tangan umat islam, di bawah kekhalifahan Usmaniyah, dan Islam mulai menguasai Eropa Timur dan Tengah. Sebelumnya di abad VII-VIII Islam telah menaklukan provinsi-provinsi Bizantium di Syiria, Tanah Suci (Jerusalem), Mesir, Afrika Utara, Spanyol, dan Sisilia. Saat itu Islam mulai mengambil alih kebesaran Imperium Romawi yang telah lama Berjaya sebagai kekuatan peradaban penakluk, kemudian berada di dalam genggaman peradaban Islam sebagai peradaban Pembebasan. Kecemerlangan peradaban Islam yang datang dengan membawa lentera ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang maju telah merambah daratan Eropa saat mistikisme dan mitologi telah diutamakan melalui doktrin keagamaan yang dengan kehendak yang mutlak dari Gereka mengatur segala aspek kehidupan, menyebabkan Eropa buta dalam keagamaan dan lumpuh dalam ilmu pengetahuan, hingga kemudian hadirnya peradaban baru di bawah spirit Islam.

Namun seiring pasar surut atau hukum “perguliran” sejarah, kemajuan satu peradaban bergulir kepada masyarakat yang lain, Bagai “roda” penggerak perubahan sekaligus penghancuran yang bermula dari puncak bangunan sejarah kelompok masyarakat kepada peredupan, penghancuran, bahkan hilangnya sebuah pelaku peradaban kecuali puing-puing kebudayaan. Ini semua fakta dari adanya hukum “perguliran” sejarah kebudayaan dan peradaban umat manusia. Toynbee berasumsi bahwa suatu peradaban bagaikan mahluk organis: lahir, berkembang, matang dan pada akhirnya mengalami proses pembusukan. Kemudian dari pembusukan atau puing-puing itu memungkinkan akan terjadi kelahiran Kembali peradaban yang baru, ini dimungkinkan karena terdapat minority creative yang mampu menjawab tantangan. Inilah yang oleh Toynbee dinamakan teori tantangan jawaban (challange-respons theory).

Mengenai kelahiran peradaban Barat itu, Roger Garaudy menyebut tiga pilar peradaban Barat, yakni Yunani-Romawi, Jude-Kristiani, dan Islam. Menurutnya Barat suatu kebetulan. Kebudayaanya suatu hal yang tidak wajar, karena tidak memiliki dimensi yang asli. Peradaban barat; pemikiran politik Barat menjadi bagian didalamnya yang kini meluas serta mempengaruhi keberlangsungan peradaban dan pemikiran politik modern hingga saat ini, adalah bentukan yang tidak datang dan terjadi dengan sendirinya, melainkan suatu proses Panjang orang-orang di daratan Eropa. Melalui kelompok kecil yang kreatif (Minority creative) meminjam istilah Ibnu Khaldun, ini telah membuka, menyadarkan serta membangkitkan bangsa-bangsa Eropa untuk mau belajar dari kemajuan kebudayaan yang terdahulu, hadir disekitarnya dan telah datang ke hadapan mereka. Dapat dijelaskan apa dan bagaimana warisan intelektual ketiga peradaban besar itu terhadap pembentukan tradisi keilmuan, kebudayaan juga pemikiran politik Barat itu sendiri, dengan melihatnya melalui fase sejarah, filsafat dan perkembangan interaksi serta pengaruhnya kemudian ke belahan dunia lainnya.

Ilmiah utopis (utopian socialism) yang dirintis David Ricardo. Melalui ajaran Karl Marx, memberikan inspirasi bagi terbentuknya berbagai aliran pemikiran seperti komunisme, sosialisme demokrasi, feminisme, Marxis, Kiri Baru (new left). Ajaran Marx merupakan modifkasi atau reinkarnasi ajaran keagamaan Yahudi atau Judaisme, konsep fundamental dari teori Marxisme secara emosional berakar pada ajaran Judaisme. Pandangan mereka demikian kuat “mencengkram” dan menjadi inspirasi untuk lahirnya reformasi di Eropa dalam berbagai bidang kehidupan, tidak hanya filsafat dan kebudayaan, bahkan sampai kepada rekonstruksi peran agama, paradigma ekonomi yang dikembangkan, hingga perubahan mendasar terhadap pemikiran, ideologi dan system politik yang dikembangkan di Barat hingga dewasa ini. Bahkan, “gaung” pemikiran orang-orang Yahudi itu, telah merambah demikian luar biasa mempengaruhi cara berpikir masyarakat dunia ke-3.

Gagasan dari pemikir yang liberalis, hingga yang komunis, telah mempengaruhi konsep politik yang dikembangkan oleh para tokoh dalam satu negara. Seperti pandangan individualistis, liberalis, kapitalis, pragmatism, sekulerisme telah demikian kuat menjadi “inti sari” pemikiran politik modern.

Peradaban Islam mempengaruhi dunia Barat di Eropa merupakan fase ketiga setelah dua peradaban besar sebelumnya. Peradaban Islam yang pernah mencapai puncak kegemilangan selama seribu tahun semenjak dimulai misi kenabian. Harus diakuin, memang terjadi persentuhan dari warisan yang ditinggalkan peradaban Yunani-Romawi. Bahakan sampai ada yang mengtakan (tendensius) bahwa kuatnya pengaruh peradaban Yunani-Romawi terhadap peradaban Islam menimbulkan asumsi peradaban Islam itu hanya copy dan kelahiran Kembali peradaban Yunani-Romawi dengan Plus kepercayaan akan keesaan Tuhan (Tauhid). Cita dalam pemikir politik kalangan muslim di masa jaya mereka pada abad ke 10 – ke 15, teruatama pemikira muslim yang hidup di Andalausia, adalah pengaruh cita pikiran zaman Yunani Kuno itu tidak sedikit. Ahli-ahli seperti Ibnu Rusyd (Averros, 1126-1198), Ibnu Sina (Avicennna, 980-1037), Al Farabi (870-950). Yang banyak membicarakan masalah manusia, pergaulan hidupnya termasuk masalah politik, banyak memberikan komentar mengenai pemikiran ahli-ahli Yunani Kuno itu banyak pula mendapat pengaruh dari mereka.

Khan Sherwani seorang Wakil Presiden perkumpulan ilmuan politik India, dalam pasal tertutup bukunya yang berjudul Importance of Early Muslim Political Though (pentingnya pendapat politik dari sarjana muslim klasik), menjelaskan betapa sangat sedikit perhatian kalangan orientalis Barat terhadap teori-teori politik dari para sarjana, filduf muslim. Ada sejumlah focus kajian yang dilakukan kalangan filsuf Muslim Klasik yakni masalah teori tentang negara (pen;kota), asal usul negara, kedaulatan, kekuasaan, penguasa iman, bentuk negara, paham internasional serta diplomasi). Sjaltut menyebutkan sejumlah nama para sarjana atau filsuf Muslim antara lain: Al Mawardi Abu Ya’la, Ibnu Jamaah, Al Kindi, Ibnu Thayyib, Al Farabi, Ibnu Abir Rabie, Thurthusji, Abul Makarim Ibnu Chutheir, Ibnu Qutaybah, Al Gazali, Abur Rahman bin Abdullah, Ibnu Thabathaba, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khaldun.

Ada sejumlah filsuf besar muslim yang sangat dikenal yang membahas, mengarang dan mengkaji secara mendalam persoalan sejarah masyarakat, sosial politik, kota, pemerintahan, dan kenegaraan. Di antaranya Al-Farabi (Alpharabius) dari Transsoxania (Turkmenia) yang hidup pada 260-339 H (870-950 M), dikenal dengan teorinya Madinatu’ L Fadilah Negara Utama-Model City. Ibnu Sina (Avicena) dari Belch (Afganistan), hidup pada 370-428 H (980-1037 M), seorang terapi politik dengan teorinya Siyatur ‘rajul, atau konsep Negara Sosialis (sosialistic state) berdasarkan kekeluargaan. Kemudian, Al Gazali dari Thus, Persia (Iran), hidup 450-505 H (1058-1111 M), seorang sufi, politikus terkenal dengan teorinya Siyasatul Akhlak atau Negara Moral (etica state). Ibnu Rusjd (Avveroes) dari Cardova, Andalausia (Spanyol) hidup pada 520-595 H (1126-1198 M), seorang hakim, politikus, terkenal dengan teorinya Al Jumhuria wa’l Hakam atau secara popular disebut Negara Demokrasi (democratic state). Ibnu Khaldun dari Tunis (Tunisia), hidup 732-808 H (1332-1406 M), seorang sosiolog, politikus, hakim. Ia terkenal dengan teori politik kenegaraan Al Ashabiyah Wal Iqtisad. Secara popular lebih dikenal sebagai “Negara Kemakmuran” (welfare state).

Menurut Zainal Abidin Ahmad, suatu keajaiban yang mengagumkan, bahwa teori-teori politik dari 5 (lima) filsuf Muslim itu merupakan inti sari dari seluruh teori-teori kenegaraan yang pernah dilahirkan dari para sarjana politik internasional masa kini. G.H Sabine dari Cornell University, Amerika Serikat membagi seluruh teori kenegaraan internasional dalam masa 26 abad sampai sekarang kepada 5 (lima) golongan di mana peran pemikir/filsuf Islam jelas tampak.

Sebagaimana yang dikemukakan Ziya Gokap, melalui penerjemahan karya-karya dari kalangan pemikir Yunani Kuno, orang Islam dari Arab menyerab pengetahuan filsafat, seni, matematika, logika, kedokteran, fisika, astronomi, sejarah dan lainnya. Kaum Mutakallimun (teolog) dipengaruhi ajaran filsafat atonomistik Demokritus dan Epikuros sedangkan kaum Mistikus dipengaruhi Neo-Platonisme yang dikembangkan di Alexandria oleh Plotinus. Ada juga pengikut lain dari Phytagoras dan Zeno di dunia Islam, yaitu kaum Riwakiyyun (stoik). Ibnu Al Farabi, tokoh mistikus Islam dari Andalausia, sangat dipengaruhi Plato. Karya Ibnu Al Farabi Akhlaq I Nasiri, Akhlaq-I Jalali-I Ala’I, menurut Gokalp, pada dasarnya hanyalah copy dari pemikiran Aristoteles.

Sebenarnya bagi kalangan pemikir Islam masa lalu dengan sifat ajarannya Islam yang terbuka untuk menyerap segala sesuatu yang positif telah menjadikan umat Islam tidak ‘alergis’ terhadap peradaban yang datang dari mana pun seperti peradaban Mesopotamis, Bizantium, Persia, Hindu dan Cina. Sebagaimana, dikemukakan para pemikir Islam, bahwa Islam itu agama yang inklusif, bersikap terbuka dan toleran guna memperkaya khazanah peradaban itu sendiri. Karakteristik Islam seperti ini, yang membangun orang Islam masa itu memiliki kepercayaan diri (Self confident) demikian tinggi serta terbatas dari sifat rasa rendah diri (inferiority complex) untuk berhadapan sekaligus berinteraksi dengan peradaban lainnya. Dengan karakteristik seperti itu, menyebabkan kehadiran Islam tidak diiringi dengan penghancuran peradaban local negeri yang dibebaskan. Islam membiarkan, bahkan dalam tingkat tertentu, memperkaya peradaban negeri yang dibebaskannya. Dengan demikian, karakteristik Islam yang seperti itu, secara gemilang berhasil menaklukan, mempersatukan dan mensistensikan berbagai peradaban dunia yang tumbuh subur dari Kawasan Andalausia Spanyol hingga daratan Cina.

Sumber:
Syam Firdaus 2007 Pemikiran Politik Barat (Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3 / Jakarta Bumi Aksara.

______

*Artikel oleh Rian Hidayat, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta.