Beritaborneo.id – Permainan tradisional sangat banyak, salah satunya Tepok Canteng:Tumpukan Kaleng Bekas (Bahasa Madura). Permainan ini sering dimainkan di kampung-kampung. Di desa Wajok Hilir, Dusun Palawija, sering dimainkan anak-anak. Dalam Bahasa Madura disebut tepok canteng, mungkin berbeda bahasa di suku lain atau di daerah lain.
Disebut Tepok canteng, yakni merupakan tumpukan kaleng bekas, yang disusun berjajar ke atas, berkisar 5-6 kaleng bekas. Jenis kaleng bekas yang digunakan seperti kaleng susu atau jenis kaleng minuman yang terbuat dari seng. Ini dikarenakan, agar anak-anak yang mau menendang nanti kakinya tidak sakit. Sedangkan Tepok, diartikan dalam Bahasa madura sebagai tendang atau pukul atau sepak, ini bisa dilakukan dengan kaki atau tangan, hanya dalam permainan ini, digunakan kaki sebagai alat penepok (bahasa madura) nya.
Permainan tradisional, seperti tepok canteng ini sangat asyik. Bukan tidak mungkin berbhineka tunggal ika (Sangat Bagus Untuk Berbhineka Tunggal Ika), karena isi permainan ini menunjukan perbedaan pikiran, ras, dan pendapat yang disatukan dalam kesepakatan bersama (konsensus) dan dilaksanakan dalam satu permainan.
Bukan hanya itu saja, bahkan bisa membangun mentalitas berpikir yang cukup membuat diri anak mandiri. Contoh, seorang anak yang dipercayakan menjaga tumpukan canteng, dia akan dituntut oleh keadaan dan kondisi untuk menjaga tumpukan canteng agar tidak kena tendang oleh teman-teman yang ngumpet.
Contents
Siapa yang bermain?
Tepok Canteng, bukan permainan yang berat untuk dipikul menjadi beban di pundak. Melainkan permainan ini sangatlah mudah. Permainan ini dimainkan oleh anak-anak, dari mulai usia 4 tahun sampai 12 tahun. Berkisar masih sekolah dasar (SD). “adik, maen tepok canteng, yok.” (Bahasa madura) Ya, kira-kira kalimat panggilan anak-anak jaman dulu untuk bermain seperti itu lah. Tidak ada batasan jumlah yang main, karena ini pun bukan kesebelasan sepak bola ala PSSI gitu.
Cara permainanya, seperti apa?
Jika ada pertanyaan, penulis akan menjawab gini. Pola permainannya mudah, kok. Anak-anak yang sudah terkumpul tadi, maka akan mengumpulkan canteng (kaleng bekas), bebas mau cari dimanapun, kalau dulu saya bermain, saya mencarinya di samping rumah-rumah orang. Hehe gini-gini pernah main juga, atuh.
Canteng yang sudah didapatkan tadi, akan dikumpulkan, disusun rapi, berjajar ke atas. Sudah selesai itu, anak-anak akan berkumpul dan melakukan pembacaan ikrar “Hompimpa Alaium Gambreng Maksadu Pake Baju Rombeng” . itu kalimat sakralnya, ya. Sambil membaca ikrar tersebut, masing-masing tangan akan di goyang-goyang ke kanan dan ke kiri, setelah sampai mau berakhir pembacaan ikrar tersebut, maka akan selesai juga goyang-goyang tangan. Siapa yang tangannya telapak putih, maka dia menang, dan jika punggung telapak yang keluar, maka akan baca ikrar kembali, siapa yang paling akhir dan punggung telapak tangan yang keluar duluan, maka dia yang jaga tumpukan canteng tadi.
Setelah itu, si penjaga canteng akan mulai menghitung angka 1-10 dan yang lainnya akan ngumpet. Setelah selesai menghitung, si penjaga akan mencari anak-anak yang ngumpet sampai ketemu. Akan tetapi, sambil penjaga canteng mencari anak-anak yang lain akan berlari dan menendang tumpukan canteng tersebut. Dan, jika ada anak yang mau menendang tumpukan canteng, maka si penjaga juga akan berlari berlomba untuk menggapai tumpukan canteng tersebut. Jika si penjaga terlebih dahulu, maka dia harus sambil mengatakan “adik, pipit”.
Ya, kira-kira itulah kalimat yang disampaikan si penjaga kepada anak yang mau menendang tumpukan canteng tadi. Bukan hanya anak yang mau menendang saja, tetapi setiap anak yang ditemukan penjaga tumpukan canting tadi juga akan mengatakan hal yang sama yakni “adik, pipit”. Jika si penjaga sudah menemukan semua anak -anak yang ngumpet, maka akan berganti penjaga dan tumpukan canteng tadi akan dijaga oleh siapa yang ditemukan pertama.
“Adik, Pipit” tentu ada artinya, setiap anak yang menjaga tumpukan kaleng bekas tadi, setiap si penjaga yang menemukan anak-anak yang ngumpet, si penjaga akan mengucapkan “adik, pipit”. Kata pertama “adik” yang akan dikeluarkan si penjaga yakni nama anak yang ditemukan, bukan hanya nama adik saja,ya. Ini hanya contoh saja. “pipit” orang madura atau dalam bahasa madura diartikan sebagai kata “menemukan, atau ditemukan atau berakhir”.
Lokasi Permainan, Bebas, Kok
Permainan ini tidak memakan banyak lahan, atau membutuhkan lahan luas, karena bukan sebuah perusahaan sawit juga kan, yang harus memotong atau menebang atau merampas lahan atau membeli lahan murah punya masyarakat untuk ditanami kebun sawit beserta pabriknya, atau bukan pula perusahaan property yang ingin bangun Gedung-gedung dan menebang lahan untuk membangun perumahan hanya untuk kepentingan perusahaannya saja. Bukan pula perusahaan tambang emas, batu bara, atau nikel yang menghancurkan hutan dan pohon hijau untuk menambang dan meraup lahan seluas mungkin untuk kekayaannya. Hehehe, sepertinya terlalu meluas.
Ini toh permainan tradisional, hanya butuh lahan di halaman rumah saja, setelah itu dijadikan mengumpul dan bermain para anak-anak. Ya, kisaran satu kapleng pun sudah cukup dan itupun luas banget, bukan. Yang penting ada halaman saja, sudah cukup untuk anak-anak bermain di hari libur sekolah maupun di sore hari setelah adzan ashar.
Sejak Kapan Permainan Ini ADA?
Jauh sebelum penulis lahir, mungkin permainan ini sudah ada. Tidak tahu lebih jelasnya, hanya saja ini bisa dibilang budaya permainan tradisional yang sejak lama sudah ada. Mungkin sudah ada sejak jaman penjajahan, bahkan jaman kerajaan. Ciri Khasnya, permainan ini kemungkinan ada di daerah pulau jawa. Karena kalau dilihat dari isi Hompimpa nya, permainan ini termasuk tradisional ala jaman kerajaan gitu.
Diajarkan Bertanggung Jawab
Permainan ini, jenis permainan yang sudah seharusnya dimainkan oleh orang-orang 90 an. Tapi, ini juga tidak diwajibkan, ya. Jika itu pun kalian tidak menginginkannya. Berdasarkan pengalaman, dan juga analisis dari pengamatan penulis. Permainan tepok canteng, sudah pasti mengajarkan tanggung jawab. Contoh, jika sudah menjaga tumpukan kaleng bekas, kita akan dituntut untuk berusaha menjaga tumpukan kaleng bekas agar tidak dapat ditendang oleh orang yang ngumpet dalam permainan tersebut.
Melebur Dalam Satu Permainan Tradisional (Solidaritas)
Beragam anak-anak yang main, memiliki karakteristik tersendiri dan perbedaan tersendiri. Dileburkan dalam permainan tradisional yakni tepok canteng. Mereka memiliki kebersamaan untuk selanjutnya saling melengkapi dan juga saling menyatukan pendapat untuk melaksanakan permainan tepok canteng.
Bergotong Royong
Jika sudah saling memiliki perlengkapan tubuh, yakni tangan, kaki, dan otak, sudah tentu harus difungsikan. Ini kan manusia, bukan robot jepang yang difungsikan untuk melayani manusia. Seendaknya saling melayani antar manusia kan, lebih bermartabat dan menunjukan “aku ini manusia,loh” , jadi menciptakan saling membantu dalam permainan ini, ditunjukan dari mulai mencari dan mengumpulkan kaleng bekas, sehingga terbentuk saling bergotong royong antar manusia.
Saling Mengenal dan Saling Asah, Asih dan Asuh
Mengenal satu sama lain antar manusia, ini sudah harus, kok. Sebut saja bersosialisasi. Ini ditunjukan dari mulai satu anak mengajak anak yang lain untuk bermain tepok canteng. Sudah tak mengenal siapa, tetapi sudah menunjukan bahwa anak sebagai manusia harus saling tumbuh Bersama antar manusia, membentuk perkenalan lebih mendalam. Sampai pada tahap, siapa yang ego, siapa yang sering marah, siapa yang sering membenci dan siapa yang saling bermusuhan dan ini dileburkan untuk saling paham, saling mengingatkan, saling melembut kasih dan berteman. Pada akhirnya terbentuk persaudaraan dalam permainan tradisional.
Tidak Ada Larangan Jenis Kelamin
Tendang menendang bukan harus jenis kelamin apa, tapi siapa yang siap dan mau. Ini urusan tendang menendang yang nantinya akan menendang tumpukan kaleng bekas “tepok Canteng”. Laki-laki dan perempuan akan bermain, dan ikut nimbrung dalam permainan tradisional tepok canteng. Lagian, ini bukan permainan siapa perempuan dan siapa laki-laki. Yang dipertanyakan dalam setiap pemilu atau pilkada yang bakalan banyak ayat dikumandangkan “yang harus jadi pemimpin itu laki-laki, dan perempuan hanya dirumah”. Alah, ini jaman opo toh, pak tokoh masyarakat.”
Isinya Ketawa Ketiwi (Kebahagiaan: Mental Anak)
Siapa yang tidak senang, ketika teman-teman ngumpul dan saling ngobrol satu sama lain. Dari mulai mensuport siapa yang akan menendang tumpukan kaleng bekas “keluar-keluar dik, cek bit abit” (Bahasa madura) kalimat pancingan agar si penjaga mengikuti tempat berdiri dan berteriak sehingga penjaga pergi ke temannya yang teriak tadi, dan agar si penjaga jauh jaraknya dari tumpukan kaleng bekas. Yang lain juga ikut berteriak, bahkan ketawa-ketiwi agar si penjaga tidak konsen.
Ini bukti keasyikannya, ini kebahagiaannya, ini isi dari seluruh rangkaian permainan “tepok canteng” dan menghasilkan cerita yang Panjang lebar di waktu berangkat mengaji ke “langgar” (musholla atau surau) sampai selesai mengaji pun, juga akan diceritakan oleh anak-anak tersebut kepada teman-teman sebayanya, bahkan ke orang tuanya.
Ini menghilangkan kesetresan dan memang membentuk anak-anak yang sudah dan bisa memahami hidup di waktu mereka sudah dewasa, seendaknya pun ketika sudah dewasa dijadikan pelajaran bahwa mengajarkan anak tidak harus disuruh diam di dalam rumah atau di depan handphone atau di depan televisi atau mekap di rumah terus menerus.
Bukan karena kotor atau bersihnya, bukan pula kaya atau miskinnya bukan pula anak siapa dan bukan pula siapa dia, melainkan anak-anak bermain karena memang sudah harus dibentuk dari sejak dini sebagai manusia yang bisa hidup mandiri di waktu dewasa. Anak yang bermain permainan tradisional adalah warisan sebagai generasi untuk menjaga permainan tradisional harus tetap dijaga dimainkan oleh anak-anak.