Narasi  

Profesionalisme PMII Dalam Tri-Khidmat

Suardi

BeritaBorneo.id – Sebagai salah satu organisasi Islam, PMII selalu relevan dengan nilai-nilai agama yang tentu saja sumbernya bukan hanya Al-Quran dan Hadist melainkan Ijma dan juga Qiyas. Profesionalisme hadir untuk menghiasi ketinggian akhlak kader PMII dan menjadi pijakan dalam bertindak sehingga tindakannya dapat dinilai sebagai tindakan yang sebaik-baiknya. Tetapi persoalannya adalah mau atau tidak berbuat baik.

 

Kader PMII adalah pemuda/i dan sebaik-baiknya pemuda adalah yang beramal Sholeh sehingga Allah menyukai pemuda yang shaleh/shalehah. Sebagaimana dikutip dari hadist yang berbunyi “Sesungguhnya Allah menyukai pemuda yang senantiasa bertaubat kepada Allah” (HR. Abu Syaikh).

 

Sebetulnya konteks bertaubat juga bisa diartikan profesionalisme kita terhadap Allah, alasannya karena kita sadar bahwa kita manusia dan tidak lepas dari khilaf dan salah. Oleh karena itulah bertaubat kepada Allah dapat dikatakan sebaik-baiknya manusia. Predikatnya adalah tidak sombong.

 

Profesionalisme menunjukan bahwa kader PMII bukan hanya sekedar harus bertaqwa dan intelektual tetapi juga harus profesional. Jadi profesional adalah turunan dari amal sholeh dan amal Sholeh turunan dari akhlak. Adapun sumbernya adalah tetap yang tiga yaitu akidah, syariah dan akhlak.

 

Ketiga unsur tersebut baik trimotto, trikhidmat dan trikomitmen masing-masing di dalamnya memiliki tiga unsur misalnya trimotto terdiri atas dzikir, fikir dan amal sholeh, Trikhidmat terdiri atas taqwa, ntelektual dan professional dan trikomitmen yang terdir atas kejujuran, keadilan dan kebenaran.

 

Jika kita perhatikan, bahwa kata profesionalisme itu berada pada trikhidmat satu vertikal dengan taqwa dan intelektual. Namun disini ketiga unsur dalam trikhidmat itu memiliki tempat yang berbeda tetapi ketiganya harus ada. Tempat bagi taqwa adalah hati, tempat bagi intelektual adalah otak (pikiran) dan tempat bagi profesional adalah amal (tindakan).

 

Jika profesionalisme tempatnya adalah amal atau tindakan maka profesionalisme itu bersifat kata kerja, artinya orang yang bekerja atau melakukan suatu pekerjaan. Oleh karena itu dalam melakukan pekerjaan haruslah profesional artinya sesuai dengan profesi kita. Misalnya kita hakim, maka bertindaklah sesuai profesinya sebagai hakim, atau jika kita guru maka bertindaklah layaknya seorang guru. Jangan terbalik guru bertindak seperti hakim dan hakim bertindak sebagai guru atau sebaliknya.

 

Profesionalisme sejatinya adalah perintah dan Allah menyukai hambanya bekerja secara profesional. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadist yang berbunyi “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang bekerja profesional di antara kalian” (HR. Abu Ya La).

 

Kendatipun demikian, profesionalisme bukan hanya sekedar bertindak sebagai profesi dalam suatu institusi atau lembaga sosial kemasyarakatan, melainkan juga bertindak sesuai tugas dan fungsinya sebagai manusia yang diberikan amanah. Tetapi profesionalisme secara umum memiliki pengertian luas dimanapun, kapanpun dan sebagai apapun karena kita tahu bahwa setiap orang memiliki kedudukan dan fungsinya masing-masing dari level terbawah hingga teratas, dengan berbagai ukuran (kekuasaan, jabatan dan pendidikan).

 

Kita menjalankan tugas dan fungsi kita sebagaimana kedudukan kita maka kita dapat dikatakan profesional, dengan jujur dan tanpa adanya unsur kecurangan. Jika kita sebagai makhluk maka lakukanlah pekerjaan kita selaku makhluk, jangan seolah-seolah seperti tuhan, jika kita sebagai hakim maka lakukanlah tugas kita sebagai hakim, jika kita seorang pelajar maka lakukanlah tugas kita layaknya seorang pelajar. Dan masih banyak lagi tindakan lainnya yang tentu harus dilakukan secara profesional.

 

Profesionalisme di PMII tentu saja harus diterapkan, profesionalisme dalam PMII adalah mampu memposisikan dirinya sebagai kader yang memiliki tugas, tanggungjawab dan fungsinya dalam struktural kepengurusan baik di level Rayon, Komisariat, Cabang hingga Pengurus Besar. Setiap level memiliki tingkatan profesionalismenya masing-masing, level sebagai anggota tentu akan berbeda dengan level pengurus, level pengurus diharapkan lebih unggul dan bukan hanya memberikan pengarahan tetapi mampu mencontohkan dalam bentuk amal perbuatan.

 

Profesional sebagai PMII adalah sadar kapan kita bertindak sebagai kader PMII dan kapan kita bertindak sebagai diri kita pribadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Kebiasaan pribadi tidak bisa dibawa kepada Organisasi, karena dalam organisasi bukan sekedar pembentukan identitas diri melainkan identitas organisasi. Nilai-nilai ke PMIIanlah yang akan membentuk jati diri kita, karena nilai-nilai di PMII sudah final dan memiliki konsep ideal tertinggi sehingga kita tidak bisa membenarkan sesuatu dengan mengatakan benar menurut kita belum tentu benar menurut orang lain.

 

Mari kita bahas ungkapan benar menurut kita belum tentu benar menurut orang lain. Ungakapan seperti ini terkadang membuat geli dan emosi. Terkadang kita sering membangkang ketika mencoba diberikan pandangan oleh orang lain terutama berkenaan dengan pandangan hidup dengan alasan setiap manusia mempunyai ukuran kebenarannya masing-masing dengan nada “benar menurutmu belum tentu benar menurut saya”. Bagaiamna kalian menjelaskannya jika ada kader yang membangkang seperti ini.?

 

Sebetulnya pernyataan seperti itu suka keluar dari pernyataan orang yang bernafsu, dan menggebu-gebu. Ucapannya ada unsur nafsu sehingga mengaburkan makna dari kata benar itu sendiri. Jika ada yang mengatakan demikian tadi, coba kita tanyakan balik “apakah ukuran kebenaranmu,?” Bagaimana ukuran kebenaran menurutmu.? Apa landasannya,? Nah jika ia menjawab dengan ungkapan menurutku, maka ini tentu tidak bisa dibenarkan, saya tidak atau apa jadinya kehidupan ini jika membawa kebenaran menurutnya sendiri. Terlalu beresiko dan hanya menimbulkan perdebatan kusir, karena egonya akan berbenturan.

 

Berdasarkan kenyataan itulah PMII hadir yang membawa kebenaran sebagai pandangan hidup, dan sebenarnya bukan menurut pribadi melainkan menurut Al-Quran, Hadist, Ijma dan Qiyas. Al-Quran sudah jelas berisi perintah dan larangan yang sangat tegas, kemudian dikuatkan dengan hadist, sedangkan kedudukan Ijma adalah hukum yang digali oleh orang cerdas dan shaleh dengan tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist tadi. Lalau bagaimana dengan kedudukan Qiyas. Qiyas memiliki kedudukan yang hampir sama namun biasanya tidak ada nas atau hadist yang memberikan penjelasan, oleh karena itu dibutukan pertimbangan dengan melakukan perbandingan antara maslahat dan mudhorotnya. Nah sebetulnya perdebatan benar menurut kita belum tentu benar menurut orang lain adalah kemudhirotan dan harus ditinggalkan. Ini adalah salah satu contoh profesionalisme berfikir.

Penulis: SuardiEditor: Hedi