Beritaborneo.id – Mahbub Djunaidi, merupakan salah satu aktivis ternama di indonesia. Lahir pada 27 Juli 1933, atau 3 Robiul Akhir 1352 H. Dengan bakat yang dimiliki, Mahbub aktif diberbagai organisasi Mahasiswa, Agama, Politik dan Jurnalistik.
Mahbub Djunaidi anak pertama dari 13 bersaudara. Bapaknya bernama H. Djunaidi dan Ibu nya bernama Muchsinati. H. Djunaidi, ayah Mahbub, merupakan tokoh di Nahdlatul Ulama (NU), pernah menjabat sebagai anggota DPR RI pada tahun 1955.
Selain itu, H. Djunaidi pernah menjadi Kepala Biro Peradilan di Kementrian Agama, yang setiap awal Bulan Ramadhan dan Idul Fitri mengumumkan hasil rukyah, melalui radio.
Muchsinati adalah anak dari Intern Louis atau Muhammad Alwi, yang dijaman itu menikah dengan perempuan Indonesia, yakni nenek Mahbub. Sedangkan kakek dari H. Djunaid adalah Abdul Aziz bin Sainan, dan neneknya bernama Siti Hasana.
Menurut Isfandiari, yang merupakan salah satu anak dari Mahbub Djunaidi, nama saudara Mahbub Djunaidi yakni, Muhibbah, Mohammad Izzi, Masfufah, Kuupa, Masyarafah, Opah, Sofie, Masykur dan Yayoh dan saudara kembarnya.
Masa kecil Mahbub Djunaidi, dihabiskan di Kampung Kauman Solo. Memiliki hobi menulis yang sudah di asah sejak masih kecil. Saat masih kecil, Mahbub diperkenalkan oleh guru-gurunya karya-karya modern, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Karl Marx, dan lain-lain.
Dari kegiatan tulis menulis, menurut Isfandiari, Mahbub Djunai lebih menyukai sastra dari pada jurnalistik. Statemen Mahbub Djunaidi, yang sering digaungkan oleh aktivis saat ini, yakni “saya akan terus menulis dan terus menulis hingga saya tak mampu menulis”. Ungkapan tersebut menunjukan ketegasan yang dimiliki jiwa seorang Pendekar Pena.
Mahbub Djunai merupakan organisatoris, kolomnis, wartawan, sastrawan, penerjemah,dan beberapa bidang yang lain dia geluti. Mahbub Djunaidi pernah menjadi kader yang aktif dan menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada 1957-1960 yakni dimasa Pimpinan Ismail Hasan Metareum.
Namun, 17 April 1960, setelah berakhirnya masa kepengrusannya, Mahbub dan para mahasiswa kader Nahdlatul Ulama (NU) membentuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Terbentuknya PMII pada masa itu, Mahbub terpilih sebagai Ketua Umum PB PMII selamat tiga priode, yakni 1960-1961, 1961-1963, dan 1963-1967. Selama menjabat sebagai Ketua Umum PB PMII, Mahbub pernah berdialog lansung dengan Bung Karno di Istana Bogor, dengan meminta agar HMI jangan dibubarkan.
Selama Mahbub Djunaidi menjabat sebagai Ketua Umum PB PMII, dan menjadi Kader yang aktif, tidak pernah lupa dia sering melakukan tradisi silaturahmi dengan orang-orang besar di Indonesia.
Tradisi silaturahmi yang ia jalani, merupakan salah satu bukti bahwa dia adalah kader Nahdlatul Ulama, yang terus menerus melakukan dan mengemban tradisi tersebut. Salah satu yang sering di Kunjungi Mahbub Djunaidi, yakni KH. As’ad Samsul Arifin Situbondo.
Selain ulama dan pemerintahan, Mahbub Djunaidi, menurut Infadiari, sangat dekat dengan tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada jaman itu. Seperti Nyoto.
Pendekar Pena, Mahbub Djunaidi menikah 24 September 1960 dengan Hj. Hasni Asjmawi Djunaidi, putri dari anggota Konstutante yakni KH. Asjmawi. Berasal dari Bukit Tinggi, yang menetap di Bandung. Pernikahan tersebut berlangsung setelah Mahbub Djunaidi dan teman-temannya berhasil mendirikan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Selama menikah, Mahbub dan Hasni dikarunia tujuh orang anak, yakni Fairuz Djunaidi, Tamara Hanum Djunaidi, Mirasari Djunaidi, Rizal Djunaidi, Isfiandiari Mahbub Djunaidi, dan Verdi Haikal Djunaidi.
Mahbub Djunaidi dan Jurnalistik
Karir Mahbub Djunaidi dalam dunia jurnalistik, berawal dari tahun 1958. Pada waktu, Mahbub ikut membantu media Harian Duta Masyarakat. Dengan kegigihannya menulis dari sejak kecil, Mahbub diangkat menjadi direktur Harian Duta Masyarakat tahun 1960-1970.
Semenjak itu, semakin hari Mahbub memiliki pengaruh besar terhadap dunia jurnalistik dan kewartawanannya. Pada kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) XI Agustus 1963 di Jakarta, ia terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat dan menggantikan A. Karim DP. Dan, Jacob Oetama sebagai sekretaris PWI pada masa Mahbub Djunaidi menjabat.
Setelah selesai menjabat di PWI, Mahbub menjadi Dewan Kehormatan PWI pada masa itu, sampai tahun 1978. Sejak 1970 menjadi kolomnis di Harian Kompas dan Majalah Tempo.
Refrensi:
Soeleiman fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU, Sejarah-istilah, Amaliah-Uswah
(surabaya:Khalista,2007), 240.
Said Budairy, “Mengenang H. Mahbub Djunaidi, Konsisten, Santai, Kocak”,Kompas(Rabu, 25
Oktober 1995).
Fadeli dan Subhan, Antologi NU, Sejarah-istilah, Amaliah-Uswah, 240.